Part 21

288 29 17
                                    

"Mau sampai kapan kamu diemin Rani? Kasihan lho dia." Ungkap ibu pada Rangga yang fokus memasak karena hari ini piketnya. Ibu berharap pulang dari bromo disambut kedua anaknya yang sudah berbaikan tapi ternyata masih saling diam.

"Siapa yang diemin sih bu? Ada-ada aja." Kepala Rangga menoleh sedikit lalu kembali pada masakannya.

"Ibu ini ibu kamu, udah hafal gerak gerik mu. Kalau ada masalah tuh ngomong Ga, bukan diem." Jawab ibu seraya menggerakkan pisau untuk kupas buah saking geregetan nya. Yah.. ibunya yang sangat peka ini pasti tahu, sebenarnya percuma juga disembunyikan.

Rangga menghela nafas cukup panjang lalu mematikan kompor, ia berusaha tetap tenang meskipun rasanya ingin marah, Rani yang memulai semua ini tapi malah Rangga yang dianggap bersalah oleh ibu. "Ibu nggak perlu ikut campur, biar jadi urusan Rangga." Rangga tetap tidak ingin ibu tahu penyebab masalah diantara mereka berdua.

Ibu menghela nafas gelisah dengar jawaban anaknya, "ingat dia itu istri mu Ga. Harus dingertiin, dijaga perasaannya kalau ada masalah dibicarain-

"Bu," Potong Rangga keras namun tetap tenang. "Rangga tahu kok harus gimana, Rangga bersikap kayak gini juga bukan tanpa alasan. Ibu cukup diam aja dan doain kita, cukup." Lanjut Rangga, ibu sudah siap membuka mulut tapi disela Rangga lebih dulu.

"Satu lagi, nggak usah ngomong ke bunda sama ayah." Rangga kembali memberi peringatan tegas, bagaimanapun ia tidak tega kalau Rani disalahkan dan dimarahi oleh orang tuanya.

"Ini urusan rumah tangga Rangga." Tandas Rangga. Ibu pun hanya bisa mengalah saja, menuruti permintaan anak laki-lakinya.

Rani tak sengaja melihat kertas berisi daftar rumah dan tanah yang sudah disaring oleh Rangga untuknya, ya ampun! Ia sampai lupa tentang ini, lagi-lagi karena kejadian-kejadian yang tidak terduga dan di luar kendali. Ia sudah melingkari salah satu rumah hanya saja belum diberikannya pada Rangga, dan sampai sekarang suaminya itu mendiamkannya.

Fuuuuuh...

Yang membuat Rani semakin kepikiran adalah ibu. Ia sudah berusaha bersikap biasa saja tapi kepekaan ibu tetap bisa mengetahui kalau Rangga tidak seperti biasa. Dan semua itu tanpa beliau tahu disebabkan oleh Rani, tapi ibu malah terus membelanya.

fuuuuuh.. Awalnya Rani pikir sikap Rangga hanya gertakan saja dan Rani gengsi untuk meminta maaf tapi ini sudah empat hari dan tadi pagi pun Rangga juga masih mendiamkannya. Rasa gengsi Rani berubah menjadi takut. Huh... Rani memutuskan untuk menutup ipad nya lalu keluar, Rani butuh coklat. Lagi-lagi Rani melewati fase hidup yang tidak terduga, ngerokok dan minum coklat gara-gara galau memikirkan Rangga.

"Siang mbak Rani.." sapa salah satu karyawan Ben.

"Halo... Aku mau coklat kayak biasanya ya.. sama ice latte macchiato satu, terus mau croissant yang butter dua sama coklat dua, emm sama strawberry short cake yang ini juga satu, take away aja ya." Sudahlah Rani akan libur makan malam hari ini dan tidak jajan selama seminggu, ia butuh memproduksi serotonin lebih banyak saat ini.

"Siapa ini yang dateng?" Rani yang sedang mengetik pesan untuk Naila sembari menunggu pesanannya, reflek menoleh.

"Ben...." Senyum Rani langsung mengembang ketika melihat senyum temannya ini. Entahlah, mungkin karena vibrasi energi positif Ben terlalu kuat, jadi Rani selalu tertular oleh senyumnya. Ben menaruh nampan di atas meja bar lalu menumpukan satu lengannya di sana.

"Seneng banget akhirnya bisa lihat kamu lagi." Ben selalu terang-terangan tanpa malu-malu.

"Apa kabar? Akhir-akhir ini aku jarang lihat mobil kamu, kalaupun ada cuma bentar terus hilang lagi." Ungkap Ben penasaran.

RaniberumahRanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang