Delhi, India.
•
Beyyazid, anak lelaki berusia sebelas tahun tampak diam memandang satu objek yang sejak tadi mencuri semua perhatiannya di Qudsia Bagh, salah satu taman tua di Delhi.
Sesuatu memenuhi pandangan mata hitamnya sembari tangannya memegang jepit rambut. Mengamati gadis seusianya yang tak ia kenal yang tak kunjung bisa mengambil buah mangga dengan galah.
Yazid melihat rambut gadis tersebut berantakan tertiup angin sesekali dia singkirkan dengan jari-jarinya, wajahnya merengut kesal tak kunjung mendapatkan apa yang dia inginkan, di mata Yazid si gadis terlihat lucu.
Gadis itu lalu berusaha memanjat pohon, Yazid tetap memerhatikannya dari jauh dengan matanya terus fokus.
"Aduh!" Si gadis jatuh lantas bergegas kembali berdiri sambil menghilangkan tanah dan kotoran yang menempel di baju putihnya.
Dan dia memilih menyerah untuk mendapatkan mangga. Pada akhirnya si gadis meninggalkan tempat itu pindah ke sebuah kursi taman mengambil peralatan mewarnainya tadi yang sempat ditinggalkan karena tergoda oleh mangga matang di pohon.
Setelah beberapa lama, sebuah suara langkah kaki terdengar mendekati si gadis, dia menoleh dengan pelan dan mendapati seorang anak lelaki datang menghampiri.
Sesaat gadis itu diam memerhatikan penampilan sederhana dari anak itu dengan tatapan angkuh yang khas, warna rambutnya cokelat pekat dan matanya lebih berkilau dari siapapun. Bajunya biru dengan warna yang sudah pudar, kombinasi yang pas dengan dengan kesan sederhana yang manis.
Tangannya mengulur untuk memperlihatkan apa yang dia bawa.
"Jepit rambut?"
Si anak lelaki yang tak ia kenal mengangguk, "rambutmu menutupi sebagian wajahmu, atur mereka dengan ini."
Kemudian terdengar suara tawa sumbang gadis itu.
"Kenapa tertawa? Aku, 'kan ingin membantumu."
"Kita tidak saling mengenal." Kilah si gadis.
"Tidak harus saling mengenal saat kita ingin menolong," dia menghentikan ucapannya dan memperlihatkan tangan kiri yang sejak tadi disembunyikan. Ada sebuah mangga matang menggiurkan. "Kata kakekku, berikan kebaikan kepada siapapun, kebaikan itu akan kembali padamu."
Lantas tersenyum lebar memperlihatkan giginya.
Gadis itu tertawa cekikikan setelahnya.
"Siapa namamu?"
"Yazid."
"Hilang kemana satu gigi depanmu, Yazid?"
"Dia pergi saat aku terjatuh dari sepeda." Jawabnya.
"Aku Jahanara Begum, panggil saja Nara." Katanya seraya mengambil kedua benda dari tangan Yazid dan memakai jepit rambut itu lantas memakainya.
"Besok datanglah lebih awal di sini, aku akan memetik lebih banyak mangga untukmu." Yazid duduk di sebelah Nara yang mulai memakan mangga tanpa mengupas dengan pisau dulu.
Nara menggeleng, "aku sudah pergi besok." Seperti ucapan yang ringan Nara sambil memakan mangga.
"Dimana rumahmu?"
"Sangat jauh, naik pesawat dari sini."
Yazid mengangguk-angguk paham tanpa mengalihkan perhatiannya.
"Apa kau akan kembali?"
"Kembali atau tidak, aku tetap tidak akan lama tinggal. Karena di sini bukan rumahku."
Yazid menunduk mendengar jawaban Nara atas pertanyaannya sementara Nara sibuk membersihkan tangan dengan air mineral.
"Aku harus mengemasi buku gambarku dan segera kembali ke rumah nenek. Hari semakin sore."
Fokus Nara beralih ke barang-barangnya yang masih berantakan.
Kemudian Yazid membantu mengemasi barang Nara hingga tak sengaja dia melihat gambaran yang dibuat oleh gadis itu.
Nara menggambar sketsa-sketsa sederhana dari bangunan kuno yang ada di taman ini, lantas dibumbui dengan warna pensil cokelat tua dan hijau dengan tipis yang membuat kesannya menjadi lembut.
"Kau yang menggambarnya?"
"Sebenarnya aku ingin melukisnya, tetapi semua alat itu terlalu berat kubawa sendiri." Nara menjawab tidak terlalu fokus karena mencari salah satu pensil warna yang hilang di sekitarnya.
"Ini bagus sekali,"Yazid melihat detail sketsa itu memuji. "Guru mungkin akan memberi nilai sempurna." Imbuhnya.
"Aku banyak menjuarai lomba melukis, ada banyak piala di rumah." Jawab Nara akhirnya menemukan pensilnya.
"Datanglah kesini kapanpun dan cari aku. Aku juga bisa mengajakmu memberi makan merpati di sini." Yazid memberikan buku gambar itu.
"Terima kasih atas tawaranmu."
Nara hanya memandangi Yazid dari kaki hingga kepala dan membalasnya dengan anggukan singkat. Wajah Yazid terlihat tulus dan baik hati, tetapi seperti yang dikatakan nenek tidak boleh gampang percaya oleh siapapun di Delhi.
"Tumbuhkan dulu gigi ompongmu itu." Celetuk Nara kembali tak sengaja melihat deretan gigi Yazid yang belum lengkap.
Selang beberapa menit sebuah mobil bagus berhenti tepat di depan taman, Nara melambaikan tangan sejenak pada Yazid sebelum akhirnya berjalan meninggalkan taman itu lantas mobil itu berlalu dengan cepat.
Yazid masih melambaikan tangan meski mobil itu tidak nampak lagi, masih teringat bagaimana dia menyembunyikan tawa melihat Nara terus berusaha mengambil mangga dari pohon dengan wajah lucu.
Dia berhenti melambaikan tangan dan menghela napasnya pelan, ini kali pertamanya dia tersenyum dan tertawa setelah sekian lama semenjak sebulan lalu Ammi (ibu)nya, meninggal dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jahanara
Teen FictionJahanara Begum menyukai warna, sudah banyak warna ia oleskan ke kanvas putihnya dan menciptakan lukisan yang begitu orang-orang puji. Yazid memberikan kesan lebih indah dalam warna hidupnya, menjadikan merah lebih merona dan kuning semakin cerah...