Apakah aku penting untuk seseorang?
Akhir-akhir ini Aru merasa jika ia mati sekalipun, tidak akan ada yang benar-benar merasa kehilangan dirinya. Dia akan cepat dilupakan seperti kesedihan sepintas lalu. Bukan hanya mengenang, bahkan mungkin mereka akan bersyukur kalau Aru telah mati.
Lalu di dalam kubur Aru akan berkenalan dengan cacing dan hewan-hewan melata lainnya, berbincang dengan mereka tentang begitu hampa hidup di dunia. Bahkan malaikat ikut mendengarkan.
Ia tidak akan kesepian di dalam kubur, ada cacing si teman baru, ada serangga, juga cahaya malaikat yang menerangi kuburnya. Jiwa Aru akan tenang karena ia diizinkan lagi bertemu dengan jiwa orang tua dan jiwa-jiwa mati lainnya. Mereka membawa cerita kepedihan dan sukacita dari dunia yang fana untuk saling bertukar cerita dengan jiwa yang lain.
"Mungkin begitu lebih baik,"
Air mata Aru bercampur dengan hujan yang menetes pada wajahnya, gadis itu menangis lirih di makam kedua orang tuanya. Menangisi nasib, menangisi rindu.
Gemuruh semakin sering terdengar, sore ini makam sepi tanpa pengunjung selain dirinya. Banyak makam terbengkalai membuat Aru mendoakan semoga jiwa mereka tidak kesepian menunggu doa-doa orang yang paling mereka kasihi di dunia ini sebelumnya.
"Ammi, bawa aku bersamamu." sekali lagi kilat-kilat menyambar. Dengan begini tak ada yang tahu kalau dirinya tengah menangis kencang di sini.
"Apakah ada tempat selain dunia yang bisa kutinggali?" Aru merintih menatap nisan ibunya, "dimana tempat yang tidak mengenal rasa sakit itu?"
Tidak peduli kalau buku-bukunya basah karena hujan. Tangannya bahkan sudah kotor karena tanah makam orang tuanya, dia tak tahu sudah berapa lama duduk di pemakaman ini.
"Paman dan juga Bibi Neetu tak pernah sekalipun menganggap aku sebagai keponakan mereka, aabu. Aku hanya beban. Aku hanya sesuatu yang harus mereka urus atas dasar keterpaksaan. Dan juga harapanku selama ini, Yazid..."
Aru tersedu, memejamkan mata.
"Dia juga telah pergi bersama yang dicintainya. Dan orang itu bukan aku."
Dia menekan dadanya karena rasa sakit yang terasa begitu nyata, Aru merasa tak lagi harus bertahan di dunia ini. Ia ingin tahu seperti apa kebebasan itu.
Kebebasan dari semua rasa bersalah dan rendah diri ini, dari belenggu masa lalu, dari sebuah cinta yang mengikat... Kebebasan dari dunia.
Aru meletakkan kepalanya di atas makan sang ibu, merasa tangan ammi ada untuk memeluknya dan menenangkan, Aru meredupkan mata perlahan.
"Hai, hallo!"
Seseorang berseru samar. Pandangan Aru semakin kabur. Teringat senyum ammi untuknya.
"Nona, apa kau bisa mendengarku?" seorang gadis menghampirinya dan menyentuh bahu Aru perlahan. Seorang laki-laki datang bersama sang gadis memayungi mereka.
"Kelihatannya dia pingsan." Gadis itu berkata kepada yang membawa payung.
"Apakah kau yakin, Rukshar?"
Sekali lagi gadis itu memeriksa, mendudukkan Aru.
"Astaga dia mimisan, Mohammed!" Gadis itu panik, mendongak.
"Kita bawa dia ke rumah sakit."
•••••
Sepulang kampus Nara diajak Yazid pergi ke Chandi Chowk.
"Semua ini di desain oleh Jahanara Begum, bukan?"
"Kau benar." Yazid tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jahanara
Teen FictionJahanara Begum menyukai warna, sudah banyak warna ia oleskan ke kanvas putihnya dan menciptakan lukisan yang begitu orang-orang puji. Yazid memberikan kesan lebih indah dalam warna hidupnya, menjadikan merah lebih merona dan kuning semakin cerah...