18 • Becak Riksa

10 1 0
                                    

"Pemenangnya akan diumumkan sehari sebelum perayaan Diwali!"

Shriti membawa kabar ketika masuk kelas, selanjutnya kerumunan mahasiswa di kelas itu ramai antusias tak sabar karya siapa yang akan dipajang di pameran bersanding dengan karya-karya terbaik lulusan tahun ini.

"Aku melihat banyak sekali yang mendaftar. Aku bersumpah demi apapun semuanya menakjubkan. Sungguh sulit memilih satu untuk dijadikan pemenang." Vivek menyela.

"Ya, bukannya memang tanggal pengumunannya diundur? Itu pasti karena panitia masih bingung memilih mana yang terbaik." Rohan menambahkan.

Shriti menoleh pada bangku belakang dimana Nara dan Aru duduk berdua saja. Tidak bergabung kerumunan.

"Kau sudah mendaftarkan karyamu, Nara?" Shriti bertanya bersemangat.

Nara memicing mata, "tentu saja sudah. Aku tak mungkin melewatkan kesempatan ini." ia seakan tidak mau dianggap telat update soal pameran ini.

"Kau mungkin bisa menang dengan mudah di London. Tapi di sini kau bersaing dengan banyak seniman sejati. Akan susah bagimu untuk menang." Shriti berkelakar ringan.

"Kita lihat saja nanti."

Shriti beralih mata ke Aru yang memang pendiam seperti biasanya. Gadis itu malah sama sekali tidak memperhatikan apapun sejak tadi, hanya melihat jendela ruang yang berembun. Sejak pagi gerimis lembut menyelimuti Delhi.

"Kau yakin tidak mendaftar, Aru?"

Aru maru menoleh saat namanya disebut, dia lalu meminta pertanyaannya diulang karena tak mendengarnya.

"Aku sudah mengirim karyaku." tukas Aru.

"Bukannya sudah ditutup? Kau bilang tidak berpartisipasi?"

Aru melihat keterkejutan di mata Nara, sementara Shriti menunggu jawaban.

"Ya, waktu itu hari terakhir. Aku orang terakhir yang mendaftar," Aru menjelaskan tenang, "menang atau tidak tak terlalu kupermasalahkan."

"Kalau begitu semoga beruntung, Aru! Aku juga mendengar kalau kau begitu berbakat." Shriti tersenyum sebelum kembali mengobrol dengan teman-teman yang lain.

Aru melihat Nara masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Apa katamu tadi? Ikut mendaftar di hari terakhir? Kenapa tidak pernah menyinggung hal ini? Kurang lebih seperti itu protes Nara lewat matanya.

"Kejadiannya begitu cepat. Aku tak memikirkannya dengan panjang," Aru mulai menjelaskan. Gemuruh terdengar dari luar, kelihatannya hujan akan semakin deras.

"Hari itu tidak ada kelas, tetapi aku pergi ke kampus untuk mengumpulkan karyaku. Makanya kau tak tahu. Soal kenapa aku tak menceritakannya, kau, kan, absen beberapa hari sebelum pernikahan kakakmu. Bagaimana aku bisa bercerita?"

"Lalu kenapa kau tidak hadir di pesta kemarin? Aku mengundangmu, bukan?"

Tentu Aru tak akan menceritakan kejadian tempo hari lalu ketika Nara asyik sendiri dengan temannya dari London dan menyuruh Aru pulang.

"Kupikir kau akan sibuk dengan yang lain." tukas Aru.

Nara hanya menatapnya sekilas sebelum kembali melanjutkan tulisannnya. Tetapi ia tak mengatakan apapun selama beberapa menit.

Lalu Aru memilih kembali memperhatikan jendela dengan titik hujan memenuhi kacanya, tak mau ambil pusing apakah Nara tengah menunjukkan sikap merajuk. Entah mengapa untuk hari ini ia malas memulai percakapan dengan siapapun.

Untuk mengawali pagi tadi saja ia harus mengumpulkan energi sedikit lebih sulit dari biasanya, ketika membuka mata hal pertama yang melintas adalah Yazid. Hatinya terasa ditekan kekecewaan yang dalam sekali, sehingga merubah menjadi kejengkelan.

JahanaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang