Mata biru kehijauan itu mengerjap perlahan. Sinar mentari menelusup masuk melewati celah hiasan jendela kedalam ruangan dengan hiasan klasik yang menggoda. Sang pemilik mata cantik itu menoleh ke kanan dan kiri, kemudian bangkit dari tempat ia tidur. Jubah malamnya berdesir ringan, tatkala ia melangkah menuju jendela yang masih tertutup. Dia kemudian menarik pengunci jendela untuk membuka jendela tersebut—membiarkan cahaya mentari menerobos keseluruhan kamarnya.
Cahaya mentari menerobos masuk secara paksa dan berhasil mengekspos tubuh milik sosok bermata indah itu. Tubuhnya ramping dengan kulit sepucat mutiara, serta rambutnya panjang dengan sedikit berwarna biru gelap di beberapa helainya. Ia mengulum senyum, tatkala angin pagi menyapa wajahnya bersamaan dengan suara lembut deburan ombak. Dia asik menikmati, sampai suara pintu diketuk terdengar.
Tok tok tok!
"Tuan muda Aivaren, Anda di tunggu Tuan Besar di ruang utama."
Mendengar hal itu, Aivaren membuka matanya dan tatapannya berubah tidak senang. "Iya, aku akan turun dalam waktu sepuluh menit."
Aivaren beranjak dari tempat ia berdiri untuk bersiap menemui Tuan besar atau Ayahnya sendiri. Aivaren tidak begitu menyukai ketika ada sang Ayah memanggilnya. Dia sudah tau dan sangat hapal, apa yang akan dilakukan sang Ayah kalau dia memanggil Aivaren untuk menemuinya.
Sepuluh menit berlalu. Kini, dia sudah berjalan menuruni tangga pualam dengan balutan kemeja biru dongker dan jasnya yang berwarna sama. Ketika sampai dibawah, Ayahnya—Tuan Besar Lio sedang duduk di tengah meja makan sembari menyesap secangkir teh dengan maid-maid disebelahnya.
"Selalu tepat waktu, Aivaren," kata Lio tanpa menoleh. "Sebagai putra sulung dan pewaris Distrik Laut Timur, kau harus bisa mengajari kedua adikmu itu juga, cara untuk disiplin waktu."
Aivaren mendesah tak suka. "Terus terang saja, Yah. Ada apa?"
"Kenapa kamu tidak duduk dulu? Kita bisa mengobrol santai sambil sarapan," kata Lio.
Aivaren terdiam sebentar, kemudian menarik kursi dan duduk di sebelah Lio. Salah seorang maid menuangkan teh panas kedalam cangkir kosong di depannya. Sembari sang maid menuangkan teh, Aivaren melirik pada Lio yang masih asyik menyesap tehnya. Dia tidak tau apa yang akan disampaikan Lio kali ini padanya.
"Memperhatikan seseorang diam-diam bisa dianggap tidak sopan, Aivaren." Lio menoleh ke arah Aivaren.
"Aku tau, tapi aku bukan orang asing, ayah," Aivaren kemudian menyesap sedikit teh di cangkirnya. "Aku kemari karena ayah memanggil. Jadi ada apa?"
Lio tersenyum kemudian meletakkan cangkirnya di meja. Ia menggerakkan tangannya agar para maid diruangan itu pergi. Melihat hal itu, Aivaren sudah memastikan kalau hal yang akan ayahnya bicarakan adalah seputar hutang dan pinjaman.
Setelah para maid sudah pergi, Lio menatap Aivaren. "Ayah ingin membicarakan mengenai hutang."
"Kalau hutang yang ayah maksud adalah hutang bermain judi lelang dengan para pengusaha dua minggu lalu, aku sudah membayarnya termasuk bunganya. Jadi tidak ada yang perlu kita bahas lagi, ayah," jelas Aivaren.
Lio mengangguk puas ketika mendengar jawaban itu. "Bagus kalau kau sudah paham arah pembicaraan. Tapi, bukan itu yang ayah ingin sampaikan."
"Apa?"
"Kau tau, sebentar lagi ada pasar lelang kan? Ayah mau kamu melelang satu aset milik bunda mu itu," kata Lio sambil tersenyum.
"Tidak."
"Apa maksudmu dengan 'tidak'?" tanya Lio. Tatapannya berubah menjadi tak suka.
"Tidak. Aku tidak mau lagi merelakan aset milik bunda hanya untuk keuntungan ayah semata saja," tutur Aivaren.
KAMU SEDANG MEMBACA
CANITUDE
AléatoireConstallatres Aivaren Daniel terpaksa menggantikan sosok adiknya yang masih berusia tujuh tahun untuk dinikahkan dengan pewaris tunggal Distrik Barat, akibat dari tabiat buruk Sang Ayah yang berani berhutang pada Distrik yang dikabarkan kejam dalam...