Disini Gina sekarang, berdiri berhadapan dengan lautan yang luas. Ia tersenyum memandang air laut yang mengalir bebas kesana kemari.
Sudah cukup atas kesakitannya selama ini, sudah cukup ia menyakiti dirinya sendiri. Sejak ia memutuskan untuk pergi, ia sudah berjanji untuk tidak mengulagi kebodohannya yang dulu.
Entah bagaimana kabar lelaki yang sudah menjadi bagian dalam hidupnya sejak bertahun tahun lalu. Tapi sekarang tidak lagi, lelaki itu kini hanya satu dari beribu bagian kepingan masa lalunya. Lelaki yang ia selalu sebut sebagai pusat dunianya, tapi ternyata menjadi alasan utama dunianya hancur.
Gina menutup kedua matanya, menghirup udara banyak lalu menghembuskannya perlahan. Merasakan ada kelegaan disetiap hembusannya.
"Akhirnya gue sampai di titik dimana gue masih bisa bernafas walau lo ga ada disamping gue, Gam." Ucap Gina sambil tersenyum tulus.
Dulu Gina pikir...
Hidupnya hanya tentang Gama.
Masalahnya hanya bisa diselesaikan bersama Gama.
Semua kesulitannya akan bisa teratasi jika ada Gama.
Dunianya hanya berputar mengelilingi Gama.
Segala sesuatu hanya tentang Gama.
Gama.
Gama.
Dan hanya Gama.
Namun ternyata itu hanya pikiran kecilnya saja, pikiran putus asanya yang menganggap bahwa tidak ada yang bisa menerimanya seperti Gama yang dengan senang hati menerimanya.
Tapi lagi lagi Gina pun salah. Gama tidak menerimanya. Yang Gama lakukan selama ini adalah bentuk rasa terimakasih atas apa yang Gina lakukan pada Risa---Mama Gama.
Sekarang Gina percaya, tidak seharusnya ia menumpukan pusat hidupnya pada orang lain, bukan kebahagiaan yang akan di dapat namun kesakitan, kekecewaan, dan pengkhianatan.
****
"Gina apa kabarnya ya sekarang?"
Gama menoleh ke arah Adrian dengan pandangan tidak suka. Berusaha ia mati matian menyibukkan diri agar pikirannya tidak hanya terisi oleh Gina.
"Woah! Santai aja muka lo Gam."
Gama hanya mendengus.
"Kalau di kasih kesempatan untuk ketemu sama Gina apa yang bakal lo lakuin?"
"Gue bakal minta maaf." Jawab Adrian pada pertanyaan Farel. "Gue minta maaf dan kalau gue ga bisa jadi temen yang baik untuk Gina gue akan bicara jujur. Bukan malah jadi seorang pengecut yang berpura pura jadi sosok teman yang baik."
Gama diam. Ucapan Adrian membuat hatinya tersengat listik. Benar. Seharusnya ia tidak memilih untuk menjadi seorang pengecut.
"Iya bener. Dan selama ini Gina pergi gue juga sadar satu hal. Kalau dari awal Gina ga pernah juga tuh maksa gue buat jadi temennya, jadi seharusnya kata 'ga mau punya temen kaya Gina' ga akan pernah keluar dari mulut gue."
Lagi. Gama semakin sesak mendengar ucapan kedua teman temannya. Gina tidak pernah memaksa untuk dirinya agar bisa selalu di samping gadis itu. Justru dirinya lah yang menempatkan posisi agar Gina selalu bisa mengandalkannya dan itu kelamaan menjadi suatu kebiasaan yang menjadikan Gina bergantung padanya. Bukan Gina yang meminta namun ia yang memaksa. Ia yang menyebabkan semua itu terjadi.
Setelah semua sudah terjadi sesuai keinginannya.
Gina yang bergantung padanya.
Gina yang selalu terpusat padanya.
Namun kenapa justru Gama yang menyesalinya? Kenapa justru Gama yang tidak menginginkan semuanya terjadi?
"Kalau lo Gam?"
Gama menoleh ke arah Farel. "Gue gatau."
"Terlalu banyak kata yang pengen gue ucapin ke Gina."
Mereka mengangguk mengerti, mereka juga paham bahwa jauh di lubuk hati Gama, ia merindukan Gina. Karena mereka juga merasakan hal yang sama.
****
"Dulu gina suka banget kan sama strawberry milkshake."
Nataya menoleh ke arah Alaia yang sedang mengaduk aduk minumannya sambil melamun.
"Lo kangen Gina?"
"Bohong rasanya kalau gue bilang engga. Udah 2 tahun Nat. Gue capek hidup terus terusan dalam perasaan bersalah."
"Kenapa harus ngerasa bersalah?" Tanya Mia.
Saat ini mereka sedang berada di kantin kampus, mereka baru saja bertemu dosen untuk bimbingan terakhirnya sebelum sidang.
"Maksud lo Mi?"
"Ya kenapa lo harus ngerasa bersalah? Toh lo melakukan hal yang benar."
"Hal yang benar?" Nataya mulai tidak suka dengan perkataan Mia.
"Mendingan kalian menjauh dari Gina kan? Dari pada kalian terpaksa harus temenan sama Gina dan pura pura jadi sahabat yang baik buat Gina? Aren't you guys tired of pretending to be fake? Terutama lo Nat. Lo bukannya sama Gina dari sewaktu kalian masih SMA?"
Keduanya terdiam.
Mengingat Gina, Nataya punya alasan tersendiri mengapa ia membenci Gina. Ia lelah jika harus di bandingan dengan Gina sejak dulu oleh orang tuanya. Gina dengan segala kepintaran dan kecerdasannya. Gina dengan segala prestasinya. Gina dengan segala kehebatannya. Dan Gina dengan segala galanya.
Ia lelah.
Ia tidak mau jika terus terusan di bandingan oleh Gina.
Tidak kah semua orang menerimanya sebagai seorang Nataya. Hanya Nataya. Bukan sebagai saingan Gina.
Namun ternyata perasaan itu yang menumbuhkan rasa benci Nataya pada Gina.
Sedangkan Alaia, tidak ada yang menerima Alaia selain Gina. Dulu Alaia tidak punya siapa. Tidak ada yang mau menemaninya. Namun Gina datang, ia mengajak Alaia untuk bergabung bersamanya. Karena Gina juga lah yang mengenalkan Alaia pada Nataya, Adrian, Farel dan juga Gama. Entah apa yang membuatnya jadi ikut menjauhi Gina. Gina tidak salah. Gina juga tidak membuat kesalahan pada Alaia. Tapi ia juga ingin mempunyai sifat seperti Gina, sifat humble, cerita dan juga gampang bersosialisasi yang Gina miliki. Ia juga ingin memilikinya.
****
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
TERIKAT
Teen FictionKisah Gina yang memiliki hubungan rumit dengan teman semasa kecilnya. Ia terikat dalam hubungan tanpa ikatan. Bagaimana bisa Gina terikat pada seseorang yang bahkan tidak pernah mengikatnya. Bukan ia tidak bisa melepaskan diri, tapi melepas Gama sam...