8. KEADAAN BERBALIK

44 4 0
                                    

Setelah mereka kembali dari rumah sakit tanpa berlama lama Adelard langsung meminta mereka untuk berkumpul diruang tengah. Suasana berubah menjadi tegang, Gina duduk di sebelah Adelard. Sedangkan yang lain duduk bersebrangan dengannya. Tentu dengan wajah Nataya yang masih terlihat emosi namun tidak juga bisa menutupi kegugupannya. Gama yang terlihat santai dan tatapan tajamnya yang tak lepas dari Gina.

"Keadaan lo gimana?"

Mia yang merasa diajak berbicara pun mendongakkan kepalanya. Ia hanya mengangguk. "Gue udah jauh lebih baik."

"Sejak kapan lo punya alergi?"

"Sejak kecil."

Adelard mengangguk, kemudian berjalan ke arah dapur membawa piring berisi udang mentega yang sudah Gina masak. "Mau kamu atau aku yang jelasin?"

Mereka sedikit terkejut ketika mendapati Gina yang tersenyum. "Biar aku, kamu duduk aja."

Gina mengambil alih piring yang dibawa Adelard dan meletakkannya di meja, tepat di hadapan mereka semua.

"Bener kan ini yang tadi ada di atas meja makan?"

Karena tidak ada yang menjawab, Adrian berinisiatif untuk menjawabnya. "Bener."

"Thank you." Ucap Gina tulus pada Adrian. Ia merasa di hargai.

"Sejak dulu bentuk udang ga berubah sedikit pun, dan kalau kita lihat sama sama udang yang gue masak hari ini berukuran cukup besar. Ya jadi kalian cukup menyadari ya kalau makanan yang kalian ambil itu adalah udang. Tapi kenapa bisa kalau salah satu diantara kalian tetep ambil makanan ini kalau ternyata kalian sadar sebenernya ga boleh makan itu? Khususnya yang punya alergi?"

Benar. Ukuran udangnya cukup besar. Tidak mungkin Mia tidak menyadari makanan apa yang ia makan. Bahkan udang itu masih bisa di potong untuk menjadi beberapa bagian.

Mereka semua menoleh ke arah Mia. Sedangkan Mia di bangkunya hanya bisa menunduk, wajahnya pun sudah pucat pasi.

"Lo sadar sama apa yang lo lakuin?" Tanya Gina yang tentu saja tertuju pada Mia walau tanpa menyebutkan namanya.

"Gue tetep mau minta maaf walaupun gue sadar ini bukan kesalahan gue. Tapi tolong lain kali, jangan mengambil tindakan yang merugikan orang lain."

"Dan satu lagi. Mungkin kalian belum sadar, kalau selama ini gue masak untuk diri gue sendiri dan untuk Bumi. Bukan untuk kalian."

Bumi. Panggilan Gina pada Aderald.

Aderald Bumi Ragaskana.

Setelah itu Gina pergi meninggalkan mereka yang masih terdiam.

Aderald menatap mereka satu persatu, kemudian menghembuskan nafasnya gusar. Ia ikut beranjak pergi dari sana. Ia takut emosinya tidak terkontrol dan mengakibatkan kejadian yang tidak terduga.

"Maaf kalau gue nyela, tapi apa yang di bilang Gina ada benernya."

"Lo bela dia Ya?" Ucap Nataya dengan nada protes.

"Bukan gue bela Gina Nat, seharusnya lo pun tau apa yang di bicarain Gina semuanya bener. Dan jujur omongan lo ke Gina juga kelewatan, lo ngatain dia ga becus buat masak. Lo pikir lo mampu?" Ketus Alaia kemudian pergi dari sana diikuti oleh Farel di belakangnya juga Adrian yang meninggalkan Nataya begitu saja.

Tersisa Nataya, Mia dan juga Gama.

Mereka tengah sibuk dengan pikirannya masing masing.

Nataya bukan ingin sepenuhnya menyalahkan Gina, ia hanya terbawa emosi dan kalut ketika melihat keadaan Mia yang parah. Apa lagi ketika mendengar ucapan dokter yang mengatakan jika telat saja nyawa Mia tidak bisa tertolong karena jalur pernafasan tersumbat. Hatinya meringis mengingat ucapan yang sudah ia keluarkan pada Gina.

Benar. Ia tidak mampu. Ia sangat jauh dari kata mampu untuk melakukan apa yang Gina lakukan. Memasak? Bahkan menyentuh dapur pun bisa ia hitung menggunakan jari.

Mia menggeram kesal. Lagi lagi rencananya gagal, ia bahkan tidak berpikir sampai sana. Tidak pernah ia berpikir bahwa bentuk udang saja bisa membuat keadaan berbalik menyerangnya. Padahal tadi Gama sudah kembali bersikap manis seperti dulu. Lagi lagi semua karena Gina.

Hatinya sudah bergembira ketika mendengar percakapan teman temannya di luar ruangan. Kalian jangan salah. Mia sudah tersadar ketika mereka sedang berdebat, dan Mia mendengar semuanya. Sudah di pastikan jika Gina saat ini sedang menangis karena sakit hati, apa lagi Gama mengatakan jika ia kecewa pada Gina. Bukankan semuanya berpihak pada Mia?

Tangan Gama gemetar, ia menatap sorot kecewa di mata Gina. Walau Gina berbicara dengan tenang seolah tidak terjadi apa apa, namun matanya tidak bisa berbohong. Seharusnya kata kecewa bukan keluar dari mulutnya, Gina lah yang lebih berhak mengucapkannya. Sudah di pastikan Gina akan sangat amat membencinya setelah apa yang terjadi. Gadis itu juga pasti shock mendengar ucapan Nataya yang terus terus saja menyalahkan dan menuduhnya seolah Gina sengaja melakukannya.

Bagaimana ia ingin mengembalikan keadaan seperti dulu jika ia sendiri yang kembali menambahkan kehancurannya?

Ia melirik ke arah Mia sekilas, apa benar Mia sengaja melakukannya?

Jauh berbeda dengan keadaan di kamar Gina saat ini. Ia justru terlihat tenang. Ia tidak emosi bahkan ia juga tidak menangis.

Gina hanya tidak menyangka, bagaimana bisa mereka berpikir bodoh seperti itu?

"Are you okay?"

Gina menoleh ketika mendengar suara yang terdengar khawatir. Senyumnya terbit mendapati Aderald sedang berjalan ke arahnya. "Aku akan selalu baik baik aja. Don't worry."

Adelard membuang nafasnya, kemudian beralih duduk tepat di depan Gina. "Sekali kali untuk jadi ga baik baik aja juga ga buruk kok, dunia ga akan menuntut kamu untuk terus berusaha baik baik aja."

Gina tersenyum mendengar ucapan lembut pria di depannya. "Dunia emang ga menuntut aku untuk terus berada di titik baik baik aja, B. Tapi tubuhku yang udah belajar untuk tetap berdiri di titik dimana aku selalu dalam keadaan baik."

Itu sebabnya Gina bersikap biasa saja, ia juga tidak mengerti. Rasanya hal yang tadi bukanlah kejadian besar yang sampai bisa membuatnya bersedih atau pun sampai mengurung diri. Tidak. Sudah Gina bilang Gina yang sekarang tidak selemah itu.

"Hai Adine."

Gina menoleh ketika mendengar suara lain di dekatnya. Saat ini ia sedang duduk di balkon apartemennya ditemani dengan secangkir coklat hangat.

****
Tbc

TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang