Gina berkali kali mengusap air mata yang tidak berhenti mengalir. Ia menyandarkan kepalanya pada jendela bus. Hatinya teramat sesak mendengar segala ucapan yang keluar dari mulut sahabatnya. Lancang kah jika ia masih menyebut mereka demikian?
Mendengar Adrian dan Farel yang ingin berteman dengannya hanya karena sebuah rasa iba membuat hatinya sedikit tercubit. Memang awal mengenal dua lelaki itu karena mereka adalah sahabat Gama sejak awal berkuliah di universitas. Begitu juga bagaimana ia mengenal Alaia saat ia baru menginjak semester 2.
Namun berbeda dengan Nataya, sahabatnya sejak di bangku SMA. Ternyata selama ini gadis itu tidak benar benar menganggapnya sebagai teman. Melainkan hanya menganggapnya sebagai beban. Padahal selama ini Nataya lah yang selalu menemaninya, begitu pula Gina yang selalu berada disisi Nataya. Jika keluarga Nataya sedang pergi keluar negeri, Gina akan bersedia menemani. Bahkan membantunya dalam mengerjakan tugas selama ini.
Tapi di balik itu semua hati Gina lebih hancur ketika mendengar Gama menyebutnya tidak lebih dari seorang yang memberikan beban. Selama ini hidupnya bergantung pada Gama. Jika ia sedang bertengkar dengan keluarganya, atau bahkan sedang lelah dengan tugas dan pekerjaan ia akan lari pada pria itu. Gama selalu ada di sampingnya selama ini. Gama juga yang selalu memberikan Gina bantuan jika ia membutuhkan. Gina merasa selama ini Gama membantunya karena Gama sudah menganggapnya sebagai keluarga atau berharap lebih jika Gama mempunyai perasaan yang sana terhadapnya. Benar. Gina sudah menyukai Gama sejak dulu, perhatian dan kebaikan Gama yang membuatnya merasa demikian. Namun betulkah karena hal itu yang menjadikan dirinya hanya sebagai pemberi beban seperti apa yang mereka ucapkan?
Ia tidak seberuntung teman temannya yang lahir dari keluarga harmonis dan berkecukupan. Tidak seberuntung teman temannya yang jika menginginkan sesuatu hanya tinggal memberikan kartu. Tidak seberuntung teman temannya yang tidak perlu bersusah payah untuk bekerja sampai larut malam. Percayalah Gina tidak seberuntung itu. Namun tidak adil rasanya jika ia membandingkan nasibnya dengan orang lain.
Tapi bukan tidak adil juga kah jika orang lain menghakimi nasibnya?
"Mamahh!"
"Mahh!"
"Udah!"
"Stop!"
"Diem!"
Gina berlari ketika mendengar suara adiknya yang tengah berteriak di dalam sana.
Gina memekik kaget ketika melihat Mamanya tengah di dorong kuat oleh Ayahnya. Ralat. Ayah tirinya. Sejak dulu Gina tidak pernah menganggapnya demikian. Tidak sudi.
Sedangkan dua adiknya berusaha membantu Mama untuk berdiri.
"Ma!"
Pria yang baru saja mendorong istrinya itu menoleh ke arah Gina yang baru saja datang.
"Ma bangun." Ujar Gina.
"Pergi lo!" Teriak pria itu.
"Lo yang harusnya pergi. Ini rumah Ayah gue! Lo disini cuma numpang! Dasar gatau diri!"
Wajah pria itu tampak memerah marah. Kemudian ia mengambil radio di dekat Gina dan melemparkannya ke arahnya.
"Kakak!"
"Akh!" Ucap Gina yang terjatuh kebelakang. Ia memegang keningnya yang tengah mengeluarkan darah. Kepalanya pusing.
"Dasar gila!"
"Dasar keluarga gatau terima kasih!"
"Udah gue idupin dari kecil ga ada terimakasihnya banget lo semua! Dasar gatau di untung!" Teriaknya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
TERIKAT
Novela JuvenilKisah Gina yang memiliki hubungan rumit dengan teman semasa kecilnya. Ia terikat dalam hubungan tanpa ikatan. Bagaimana bisa Gina terikat pada seseorang yang bahkan tidak pernah mengikatnya. Bukan ia tidak bisa melepaskan diri, tapi melepas Gama sam...