28-05-2022
• ALULANA •Aluca menghela napas setelah 15 menit berlalu ia masih berdiri di depan pintu sambil beberapa kali menoleh ke kanan dan kiri.
Jika hari-hari biasanya Aluca akan menghabiskan waktu di taman, duduk-duduk di bawah pohon sambil menunggu matahari terbenam, kebetulan sekali saat ini di luar sedang hujan lebat, sore yang biasanya nampak cerah sekarang malah gelap.
Hampir 20 menit ia menunggu, tapi orang itu belum juga tampak batang hidungnya. Aluca memainkan jari-jari sambil menunduk. Saat ingin meraih tiang infusnya dan memutuskan untuk kembali masuk suara melengking menahan kaki Aluca. Gadis yang sebaya dengannya berdiri dalam jarak 20 meter itu melambaikan tangan.
Senyum tipis Aluca muncul. Tangannya membalas lambaian gadis itu dengan pelan.
"Kamu ngapain di luar kamar?" tanya Klana, di tangan kanannya terlihat mambawa plastik yang berisi makanan.
"Bosen," singkat Aluca.
Klana membentuk mulutnya berbetuk 'o', kemudian menggenggam jemari Aluca dan menariknya. "Ikut ke kamar Bang Langit aja, yuk! Hari ini aku sendirian nemenin dia."
Tanpa berpikir dua kali Aluca mengangguk. Memang ini yang ia tunggu-tunggu.
Setelah mereka masuk, aroma obat-obatan langsung menyeruak tercium. Pemandangan di dalamnya hampir sama seperti kamar milik Aluca.
"Halo, Bang, Klana bawa temen, nih."
Senyum Aluca luntur begitu melihat keadaan Langit yang terbaring di sana. Berbagai alat rumah sakit terpasang, membuat Aluca pusing melihatnya, tubuh Langit sangat kurus, di kepalanya tak ada satupun rambut yang tersisa, kulitnya sangat pucat, mata yang Aluca yakin sama dengan Klana tertutup rapat. Tanpa sadar Aluca manahan napasnya.
Klana mengajak Aluca untuk lebih dekat dengan Langit. Sambil tersenyum lebar ia menatap Langit seolah kakaknya juga membalas senyum manis Klana.
"Kenalin, ini Bang Langit. Bang, kenalin ini Aluca." Klana mengarahkan tangan kanan Aluca untuk di letakan di atas tangan kiri Langit. Sangat dingin. Padahal suhu ruangan ini cukup hangat.
Beberapa menit setelah Aluca melihat langsung bagaimana keadaan Langit, ia tidak bisa tenang. Entah kenapa, melihat Langit membuat hatinya gelisah. Aluca takut kalau hal yang dialami Langit juga akan terjadi pada dirinya, Aluca takut tidak bisa bertahan sebelum ia bertemu dengan ibunya.
"Dua bulan yang lalu semuanya masih kaya biasa. Kita berdua masih bisa main bareng, tidur bareng, dan masih banyak lagi yang biasa kita berdua lakuin sama-sama," ujar Klana, sambil tak lepas menatap Langit.
"Tapi suatu hari, waktu kita lagi liburan sekolah, Bang Langit tiba-tiba pingsan, dari hidungnya keluar darah, mama sama papa panik dan langsung bawa Bang Langit ke rumah sakit." Ia menunduk. "Sejak hari itu, kita nggak pernah main sama-sama lagi," lanjutnya.
"Aku takut nggak bisa main selamanya sama Bang Langit."
Aluca terhenyak, hembusan napas panjang terdengar, anak itu juga menatap keadaan Langit dengan tatapan kosong.
"Aku nggak tahu penyakit kaya apa leu leu itu, tapi aku yakin kalo itu penyakit yang bahaya," lanjutnya.
Menyadari tak ada lagi suara, Klana menoleh pada samping kanannya, kepada Aluca. "Kamu gapapa?"
Aluca menanggapinya dengan gelengan pelan. Kaki Aluca melangkah kecil mendekati Langit. Tangannya mengusap tangan Langit yang bebas dari infusan.
"Bang, Aluca suka Klana."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALULANA [END] ✓
Teen Fiction"Gue sakit. Kalo bukan karena Bunda mungkin gue udah mati dari dulu." ******************** [HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA!] Sejujurnya, sulit sekali untuk mendeskripsikan mereka berdua menjadi beberapa baris kata yang harus aku tuangkan ke dalam cer...