EPILOG

140 7 0
                                    

"Pokonya kamu harus hadir besok! Lama-lama Bu Jasmine bisa aja pecat kamu karena kelamaan cuti."

Klana mengapit handphone dengan kepala dan bahu kanan untuk membernarkan letak tas jinjing yang sempat turun dari bahu kirinya.

"Yauda deh. Lagian kalo dipecat juga nggak masalah, laki gue kaya," sahut Karin dengan santai di seberang telepon.

"Huftt... Iya deh pasutri baru." Klana terkekeh. Karin dan Klana masih tetap bersahabat bertahun-tahun kemudian. Mereka kerja di satu perusahaan, punya jabatan yang hampir sama pula. Klana dan Karin selalu dipercayai oleh atasan mereka yang kerap dipanggil Bu Jasmine--kadang Karin memanggilnya dengan sebutan ibu melati.

"Yaudah udah dulu ya, see u!"

"Yoi!"

Klana menutup sambungan telpon. Kembali celingukan mencari-cari keberadaan seseorang,

"Jangan lari-lari!" katanya setelah mendapati anak kecil yang tengah ia cari.

Sepertinya ucapan Klana hanya dianggap angin lalu oleh anak laki-laki itu. Kakinya lincah berlari mengelilingi hamparan rumput yang luas, tangannya asik menjinjing paper bag dan memegang dua balon berwarna putih dan hitam. Sedangkan Klana membawa satu buah cake cokelat berukuran kecil dan tas sekolah milik anak itu, tersenyum tipis sambil perlahan berjalan menyusulnya.

"Kamu lincah banget deh."

"Iya dong! Siapa dulu, Aluca!"

Klana mengacak-acak rambut anak sembilan tahun itu gemas. Aluca terkekeh senang, lantas mengeluarkan isi paper bag yang ia bawa tadi, menyerahkannya kepada Klana.

Untung seja senja bersinar lembut hari ini, mereka berdua bisa menikmati waktu tanpa risau karena terik matahari. Aluca yang mengajak Klana untuk mengunjungi pemilik hati lamanya ini, katanya ia sangat penasaran dengan sosok seseorang yang sudah lama pulang jauh sebelum dirinya lahir.

Sedikit demi sedikit Klana menaburkan bunga di atas tumpukan tanah, Aluca melakukan hal yang sama. Bahkan anak itu ikut berdoa walaupun tidak tahu apa yang harus diucapkan. Aluca mengintip sedikit, membaca nisan di dekatnya dengan terbata.

"Kenapa namanya mirip sama Aluca?"

Mata bulat Aluca menatap Klana penuh penasaran. Belum sempat Klana menjawab, sebuah suara memanggil Aluca dari kejauhan, mereka menoleh. Setelah menyadari siapa yang datang, Aluca loncat berdiri, mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. "Bunda!"

Aluca berlari menghampiri Riana dan Bima yang sedang menuju ke sini, anak laki-laki itu memeluk kaki Bima, tertawa senang saat orang tuanya datang menyusul.

"Aluca nakal ya?" Bima memangku anak usia sembilan tahun itu, lantas mencubit pipinya.

"Aluca nurut kok sama apa yang di bilang Aunty Ana." Aluca sedikit kesal mendengar Bima bertanya seperti itu.

"Sekarang Aunty Ana nya mana?" tanya Riana.

"Tuh!" Aluca menunjuk salah satu makam sekaligus Klana di sana. Klana beranjak berdiri saat Riana, Bima dan Aluca menghampirinya.

"Maaf yah, Aluca merepotkan kamu."

Klana menggeleng dan tersenyum. "Nggak apa-apa Tante, Aluca nggak nakal kok."

Aluca nampak puas dengan jawaban Klana. "Tuh kan! Kalo Aluca bilang Ayah sama Bunda nggak percaya!"

Mereka tergelak mendengar suara melengking Aluca. Bima dan Riana ikut berjongkok, menaburkan bunga sekaligus berdoa, seperti apa yang Klana lakukan tadi. Mata bulat Aluca mengerjap.

ALULANA [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang