•ALULANA•
24-November-2022Sebenarnya Klana tidak ingin menghiraukan perkataan Riana. Selama di sekolah gadis itu berusaha untuk menepis rasa penasarannya tentang sesuatu yang akan Riana bicarakan. Hal itu juga tentunya tidak luput dari perhatian Aluca. Hari ini terhitung sudah sepuluh kali Aluca bertanya tentang apa yang membuat Klana sering melamun, dan sepuluh kali juga gadis itu menggeleng seraya berkata tidak terjadi apa-apa.
Perempuan memang jagonya dalam hal berbohong. Saat ini Klana tengah berdiri di depan sebuah caffe yang buka dua puluh empat jam berjarak sekitar lima belas menit dari sekolah. Sebelumnya Riana memang memberitahu tempat mereka bertemu lewat sebuah pesan. Entah darimana Ia bisa mendapatkan nomor Klana. Sepertinya dalam mencari informasi apalagi hanya sebuah nomor telepon bukan masalah besar bagi Riana. Wanita itu bahkan bisa mengetahui Klana akan datang ke rumah Aluca kemarin. Seperti pengintai.
Gadis itu mengeratkan pegangan pada tas hitam miliknya sebelum masuk ke dalam caffe. Ruangan dalam caffe ini transfaran, sehingga di luar terlihat langit sudah mulai gelap, hari menjelang malam. Klana harus segera menyelesaikan pertemuannya sebelum terlalu larut.
Di meja paling ujung, seorang wanita yang memakai dress berwarna merah delima asik berkutat dengan sebuah laptop, sepertinya tidak menyadari kalau Klana ada di sana. Sebelum Klana melangkah menghampiri Riana, handphone nya bergetar singkat, satu deret pesan muncul di layar kunci.
Riana
|Saya yang pake baju merah. Jangan bengong, cepat ke sini.Klana menelan ludah susah payah, padahal dalam hati Klana yakin kalau Riana sama sekali tidak melihat saat ia sampai di caffe ini.
"Halo tente," sapa Klana ramah.
Riana balas tersenyum singkat. "Silahkan duduk."
Di atas meja sudah ada dua gelas berisi jus mangga dan satunya berisikan ice chocolatte. Sekali lagi Klana yakin kalau ice chocolatte itu pasti sudah dipesan Riana untuknya.
"Minum dulu." Tanpa menunggu Riana meminum sedikit minumannya, Klana pun juga sama. Ini adalah pertemuan paling canggung seumur hidup Klana.
"Langsung saja." Riana menutup laptopnya, mengalihkan fokus kepada pembicaraan ini.
"Lima tahun lalu keponakan saya, Aluca, didiagnosis kanker darah stadium dua yang membuatnya harus dirawat dirumah sakit sampai bertahun-tahun. Sejak saat itu saya berpikir untuk bekerja lebih keras agar bisa membayar biaya pengobatan Al yang pastinya tidak murah. Saya sering bekerja ke luar kota, bahkan sampai ke luar negri, meninggalkan Al sendirian tanpa seorangpun yang menemaninya."
Klana mengerutkan keningnya. "Orang tua Aluca memanggnya kemana, Tan?"
Diam sebentar, Riana menghela napas. "Tidak tahu. Tidak ada informasi sedikitpun tentang mereka, dan saya juga tidak berniat untuk mencaritaunya."
"Tapi Aluca berharap bisa ketemu sama Bundanya, Tante. Aku pernah ngeliat dia terus manggil Bundanya waktu dia lagi tidur. Aluca pasti kangen banget," sela Klana.
"Maaf Klana, saya mengajak kamu bertemu bukan untuk membicarakan itu. Pembicaraan ini jadi meluber kemana-mana, mari kita kembali ke topik awal."
Klana menutup mulutnya rapat setelah mendengar sebuah nada yang tidak bersahabat ditelinganya. Perktaan Riana tegas, mutlak tidak dapat diganggu gugat. Sorot matanya mengintimidasi sang lawan bicara, membuatnya tak berani berkutik.
"Saya harap kamu memikirkan lagi keputusannya jika ingin masuk ke dalam lingkaran hidup Al. Sel kanker yang beberapa tahun lalu sudah hilang sekarang kembali tumbuh, keadaan Al akan lebih parah daripada keadaannya dulu, hidupnya berbeda. Takdir Al adalah diam di ranjang ruang sakit, berurusan dengan obat dan dokter. Bukannya sekolah atau bermain di luaaran seperti remaja pada umumnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALULANA [END] ✓
Teen Fiction"Gue sakit. Kalo bukan karena Bunda mungkin gue udah mati dari dulu." ******************** [HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA!] Sejujurnya, sulit sekali untuk mendeskripsikan mereka berdua menjadi beberapa baris kata yang harus aku tuangkan ke dalam cer...