Bab 3

660 11 0
                                    

Deru napasku masih belum teratur setelah permainan panas kami tadi, rasanya seluruh tulangku nyaris patah. Untuk kesekian kalinya aku digempur Mas Seto dengan nikatnya. Dan untuk kesekian kali juga aku sangat menikmati berada di bawah kuasanya. Sungguh lelaki ini terbaik memang, semua yang ada pada dirinya begitu memabukkan.

"Capek, Sayang?" tanya Mas Seto merapikan anak rambutku yang berantakkan dan menutupi sebagian wajah.

"Menurut, Mas?" tanyaku sebelum menenggelamkan wajah di dada bidangnya.

"Maaf, Mas sudah nggak tahan untuk nggak goyang kamu dari semalam," kekeh Mas Seto yang membuatku mengangkat wajah dan menatapnya horror.

"Katanya lusa baru balik?"

"Kemarin sore sudah kelar meetingnya, jadi Mas langsung balik dari Palembang setelahnya. Kamu juga katanya minggu depan, kenapa cepat banget baliknya?" tanyanya sembari menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang kami.

Mas Seto mencubit hidungku gemas, membuatku kesal bukan main. Sudah tahu hidungku ini kecil, masih juga disakiti. Nggak cukup apa aku tersakiti karena nggak bisa flirting sama bule-bule ketjeh. Tapi tak berapa lama aku merasakan benda kenyal dan lembab itu menyentuh bibirku. Ciuman manis yang selalu memabukkan untukku, aku jadi berpikir bagaimama caranya membiasakan diri tanpa Mas Seto.

"Kenapa kamu lempeng saja, sih?" protes Mas Seto ketika telah melepas bibirnya dari bibirku.

"Maaf, Mas. Sasa ngantuk," jawabku asal sembari menenggelamkan wajah di dada bidangnya.

"Tidur, Sayang," aku sudah memejamkan mata, berpura-pura tidur tapi masih bisa mendengar ucapan Mas Seto.

Jantungku rasanya sudah jumpalitan di dalam, sejak pulang dari Malaysia beberapa bulan lalu perasaanku berbeda. Rasamya selalu ada manismanisnya gitu kalau Mas Seto panggil aku "sayang". Tapi aku sudah meyakinkan diri bahwa harus lepas dari pesonanya. Setelah ini aku harus bicara pada Mas Seto tentang kelangsungan hubungan ini.Tapi aku sudah meyakinkan diri bahwa harus lepas dari pesonanya. Setelah ini aku harus bicara pada Mas Seto tentang kelangsungan hubungan ini.

Tidurku mulai tidak nyenyak karena rasa lapar menyerang, cacing di perutku sudah main drum. Aku menggerakan tubuhku pelan dan merasa tubuhku di peluk erat. Aduh kebiasaan banget, deh, nih orang kalau tidur sukanya meluk-meluk. Mana nggak pake apa-apa lagi, kerasa banget ada yang nembel di perut. Aduh rasa lapar akan makanan lebih dominan daripada rasa lapar yang itu. Akhirnya aku membuka mata dan melihat wajah tampan yang tenang dalam tidur.

"Hmmm..." gumamnya merasa pergerakanku.

"Lepas, Mas. Sasa lapar," ucapku cukup kasar, berusaha melepaskan diri dari pelukannya dengan suara serak khas bangun tidur.

"Jam berapa sekarang, Yang?" tanyanya dengan wajah seksinya ketika baru bangn tidur, meski mata mengerjap beberapa kali dan itu sungguh terlihat menggemaskan.

Ku lirik jam dinding di atas TV, waktu menunjukkan pukul 11 malam. Pantas saja perutku terasa lapar, aku hanya makan tadi pagi saat di hotel. Dan saat sampai di Jakarta langsung makan dan dimakan Mas Seto. "Jam 11, Mas," ucapku sambil melepaskan diri dan berjalan menuju kamar mandi dengan keadaan masih telanjang.

Tak berapa lama saat aku membersihkan diri, pintu kamar mandi terbuka. Menampilkan wajah tampan lelaki yang masih telanjang dan mengantuk itu. Dia membawakan handuk bersih untukku dan aku tahu yang satu lagi pasti buat dia sendiri. Kadang hal yang seperti ini adalah kesalahan dalam hubungan kami yang tanpa status ini. Perhatian yang seperti ini kadang bikin perempuan sejenis aku msudah terbawa perasaan.

Dan sekarang aku menyerah, memutuskan untuk menysudahinya. Mungkin benar kata orang-orang, kalau aku sudah harus memikirkan masa depan. Menjalani kehidupan normal dengan seorang lelaki dan membentuk keluarga, dan orang itu bukan Mas Seto.

Teman Tapi???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang