Bab 11

337 11 1
                                    

Dan sekarang aku sudah berada di depan pintu besar sebuah rumah mewah di kawasan elit. Bisa ku lihat seberapa kayanya keluarga Kusumo ini, pantas saja itu para buah-buahan suka nemplok ke Mas Seto. Lelaki itu langsung memasuki rumah dan disambut hangat oleh wanita paruh baya yang ku yakini adalah pekerja di rumah mewah ini.

"Assalamu'allaikum. Bi, Mama sama Papa mana ya?"

"Wa'allaikum sallam. Aden sudah ditunggu Nyonya dan Tuan di ruang keluarga," jawab wanita itu sebelum akhirnya berlalu meninggalkan kami.

Wanita itu terlihat ramah dan meberikan senyum hangat padaku, setidaknya aku sudah merasa jauh lebih baik dari pada tadi. Walau jujur aku masih merasa kalut dan takut dengan apa yang akan keluarga Kusumo lakukan. Jangan dikira aku gak pernah nonton sinetron

Indonesia yang ceritanya orang biasa dengan anak konglongmerat. Biasanya kalau datang berdua begini gak lama diusir atau disuruh pilih keluarganya atau cewek itu. Dan aku sih yakin banget hal itu akan terjadi ke aku dan Mas Seto akan pilih keluarganya. Secara aku ini sudah seperti remahan rempeyek di atas nasi pecel pake lauk daging. Terabaikan.

"Santai, Sayang," ucap Mas Seto menggenggam tanganku dan berjalan menyusuri area rumah mewah yang sangat luas itu.

Sampai aku bisa melihat sebuah ruang keluarga dengan TV LED besar dan ada 2 orang dewasa duduk di sofa yang menghadap langsung ke arah kami datang. Kaki dan tanganku semakin lemas saat melihat wajah orang tua Mas Seto, aku yakin sekali kalau kali ini hidupku makin runyam. Nasib ya nasib, cinta dan tubuhku sudah mentok di Mas Seto. Sepertinya malam ini aku harus membeli tiket pesawat untuk ke Kalimantan, agar semuanya aman dan kondusif.

"Lama banget kamu datengnya," tanya tante Kinanti ibunya Mas Seto.

"Macet, Ma."

Memang macet, sih, tapi kita nambah kemacetan lagi di apartemen sampai sejam. Panggilan diri sudah merongrong ingin dilepaskan dan tidak mungkin kami melakukannya di dalam mobil. Bukan main dasyatnya permainan Mas Seto, selalu bisa membuatku meringis nikmat dan minta ampun biar dia nggak berhenti. Aduh! Ini otak ya, di depan lagi ada orang tuanya dan aku malah mikir yang iya iya sama anaknya.

"Kalian duduk," ucap om Wirya yang tidak lain adalah ayah Mas Seto.

Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di sisi Mas Seto, berhadapan langsung dengan kedua orang tuanya. Sedangkan Aria yang baru datang langsung duduk di sisi tante Kinanti. Seriusan ini sekarang aku merasa disidang, seperti dihakimi atas kesalahan yang emang kita perbuat. Mana tatapan mata ayahnya Mas Seto tajem banget lagi, setajam silet yang sewaktu-waktu bisa menorehkan luka dalam padaku.

"Nama kamu Maysa Farani?" tanya pria paruh baya itu padaku yang hanya bisa mengangguk karena aura intimidasinya begitu kental. Ngalah-ngalahin tatapan mautnya Ayah dan Bang Farhan kalau lagi interogasi aku.

"Jadi kalian punya anak yang sudah meninggal tanpa sepengetahuan kami?" tanyanya lagi yang hanya kami jawab dengan anggukan.

"Siapa namanya?"

"Arkan Arriza Kusumo," yang jawab bukan kami berdua, tapi tante Kinanti.

"Kenapa bisa kalian punya anak dan kami tidak tahu?" tanya Om Wirya semakin mirip seperti polisi yang lagi nilang aku di lampu merah karena nggak pake helm terus lupa bawa SIM dan STNK.

"Ya bisa lah, Pa. Kan, Seto sama Maysa bikin, makanya ada Arkan," jawab Mas Seto dengan wajah lempengnya yang bikin aku bergidik ngeri, sedangkan ketiga orang lainnya menatap tidak percaya padanya.

"Seto! Papa serius dan tidak sedang bercanda!" bentak Om Wirya yang berhasil membuat tubuhku bergetar hebat dan beringsut mundur ke balik tubuh kekarnya Mas Seto yang grepeable banget.

Teman Tapi???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang