Bab 5

457 9 0
                                    

Sekarang aku dan Mas Seto berada di dalam mobil menuju salah satu Mall di dekat apartemen. Sepanjang perjalanan kami lebih memilih diam, apalagi setelah kejadian air mata biadab yang meluncur bebas dari pelupuk mataku. Dan bodohnya lagi Mas Seto diam saja lihat aku nangis, atau lebih tepatnya dia mematung tanpa reaksi heboh yang aku pikir bakalan kayak di film-film atau sinetron. Hanya ada deru mesin mobil dan suara radio yang mengiringi perjalanan kami. Sampai terdengar cuap-cuap dari penyiar radio yang buat aku pengen bakar tuh radio.

"Oke, gue cuma mau nanya buat sahabat 109.8 FM semuanya. Pernah nggak, sih, ngerasain perasaan nyaman sama seseorang tapi lo ngerasanya itu salah?"

Hening.

"Kalau gue pernah banget ngerasain yang begitu dan nyesek banget, dah. HTS-an istilahnya, Hubungan Tanpa Status yang digantungin saja gitu kayak tali kutang Mpok Romlah."

Hening.

"Kalau lo pernah ngalamin yang begitu, ceritain dong pengalaman lo semua lewat SMS atau Twitter atau Instagram kita. Gue mau tahu apa, sih, yang akan lo lakuin dengan keadaan begitu?"

"Tenggelam saja di Bantar Gebang!" jawabku pasti sedikit berapi-api yang membuat Mas Seto menekan klakson mobil secara mendadak.

Buset! Jantung aku mau copot lihat dia ngebulatin mata seakan-akan aku sudah bikin kesalahan besar. Tapi gak lama, setelahnya dia kembali fokus nyetir dengan aku yang larut dalam pikiran sendiri. Sampai aku merasa tangan kananku di genggam, memberikan perasaan hangat yang membuat hatiku merasa lebih baik.

"Sayang..." panggil Mas Seto lembut, membuatku meleleh seperti ice cream di atas waffle cokelat.

"Apaan?" tanyaku ketus.

"Kamu kenapa? Dari tadi marah-marah nggak jelas, nangis juga tadi. Mas tuh bingung, kan kamu nggak lagi palang merah. Semalam habis dicoblos, kan?" tanyanya beruntut yang membuatku memalingkan wajah ke arahnya dan memberikan tatapan tajam.

"Mas tuh masih bisa bercanda, sih," protesku yang hanya dibalas dengan kekehan.

"Ya kamu kenapa?" tanyanya lagi.

"Itu penyiar rese banget, pengen ditenggelamin ke Kali Ciliwung saja," sungutku kesal.

"Ya dia, kan, nggak salah apa-apa, Yang. Kamunya saja yang baperan waktu dia ngebahas HTS-an, kenapa? Ngerasa kesindir?"

Buset itu mulut ya suka bener kalau ngomong, pengen aku cipok saja rasanya. Kalau nggak inget sekarang lagi di mobil, sudah aku dudukin itu perkututnya. Eeh nggak deng, aku, kan, sudah tobat jadi batal acara dudukin perkutut. Jujur saja aku ngerasanya tuh mentok di satu obyek, tapi ada obyek lain yang lebih menjanjikan dibandingkan obyekku ini, pernikahan. Aku tidak hanya menginginkannya, tapi aku membutuhkannya. Walau aku nggak tahu pasti seperti apa perasaan cintaku ini ke Mas Seto.

"Diem, artinya bener, kan, kamu baper soal HTS-an dan hubungan kita. Lagian kamu sendiri semalam yang mau ngelepasin Mas," ucapnya membuatku semakin merasa ingin menenggelamkan diri di Bantar Gebang bersamaan dengan sampah. Karena hati dan perasaanku sudah jadi sampah setelah terjebak kegilaan ini.

"Bisa nggak usah bahas hal ini, kan, Mas?" tanyaku pada akhirnya, karena otakku sudah nggak kuat mikir yang berat-berat. Cukup beban perasaan dan moral saja yang berat, jangan ada lagi yang lain-lain.

"Mas tuh sering bingung sama kamu, maunya apa juga Mas gak tahu," keluhnya terdengar jujur banget di telingaku yang lagi sensitif sama suaranya.

"Ya sudah, deh, Mas. Sasa tuh pusing, jangan diajak ngobrol terus dong."

Aku kembali fokus pada radio yang sedang memutar lagu waktu zaman aku sekolah dulu. D'Masiv yang judulnya Cinta Ini Membunuhku. Heran ya sama yang request tuh lagu, suka bener deh sama perasaan aku yang nggak jelas saat ini. Mungkin seandainya saja dulu aku nggak ngalamin semua keberengsekan itu, nggak akan sesulit ini ngertiin dan ngartiin perasaan sendiri. Sayangnya nasi telah menjadi bubur ayam Bandung yang gagal aku makan pagi ini.

Teman Tapi???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang