Bab 10

322 8 0
                                    

Sepanjang perjalanan dari makam menuju kediaman keluarga Kusumo aku lebih memilih diam. Rasanya seluruh tulangku dicabut paksa dari tubuh, sampai-sampai daging dan kulitku luruh ke tanah. Sumpah, ya, hari ini sepertinya benar-benar hari sialku. Dari tadi pagi sudah ketemu sama sampah-sampahnya Mas Seto, terus ketemu sama Mabang yang sialnya bikin aku nginget masa lalu bangsat itu lagi. Double kampret hari mingguku di Jakarta ini, dan berharap mood membaik setelah mengunjungi makam Arkan. Tapi sialnya lagi bukannya makin baik, moodku makin terjun bebas.

Gimana nggak terjun bebas kalau di makamnya Arkan malah ketemu sama Ibu dan adiknya Mas Seto. Makin bikin aku mati kutu karena interogasinya tentang siapa Arkan yang binnya pakai nama Mas Seto. Terus sudah gitu si Aria, adiknya Mas Seto bilang aku ini pacarnya. Makin mau pecah ini kepala, double kampret dah pokoknya hariku ini. Kalau tahu gak usah saja Mas Seto nemenin jalan hari ini, lebih baik jalan sendiri dan mungkin bisa ketemu lelaki kece buat jadi mantunya Ayah Hardiansyah.

"Sayang," panggilnya lembut di tengah keheningan yang tercipta.

"Sayang sayang, Mas bisa nggak, sih, panggil biasa saja?" protesku karena sudah makin kesal dengan tingkahnya ini lelaki tampan mapanku.

"Kan memang begitu kenyataannya, kamu kenapa sih, Yang?" tanyanya lagi membuatku makin kesal dan mengumpat.

"Yang yang pala lo peang!" umpatku karena pusing memikirkan sidang yang akan diberikan oleh keluarga Mas Seto.

"Maysa Farani! Mas sudah peringatkan untuk nggak mengumpat!" bentak Mas Seto membuatku beringsut mundur menjauhkan tubuhku dari jangkauannya.

Kebetulan saat ini kita terjebak macet lampu merah dan aku tidak bisa lari ke mana-mana. Dan untuk pertama kalinya aku takut pada Mas Seto, karena dia tidak pernah membentakku lagi sejak kehilangan Arkan. Seriusan aku takut, rasanya mau menghilang saja ke dalam kerang sajaibnya Jinny Oh Jinny.

Tak berapa lama tanganku ditariknya dan dia membekap mulutku dengan bibir lembutnya. Masih memabukkan, dan semakin menggila hisapannya pada bibir bawahku. Aku tahu dia marah, tapi kalau pelampiasannya selalu dengan gairah seperti ini, sih, aku rela. Rela untuk selalu berbuat salah biar dia berani cium aku di tempat umum seperti sekarang, karena aku yakin orang lain bisa melihat apa yang tengah kami lakukan saat ini. Kaca mobilnya tidak dilapisi kaca film, dan itu tidak berpengaruh apa-apa pada permainan bibir dan lidah kami.

"Sayang," desahku tertahan saat dia melepaskan pagutan bibirnya untuk mengambil napas.

"Hmmm," gumamnya ketika bibirnya kembali mencecapi bibirku dengan rakusnya.

Bahkan kini tangannya sudah menelusup ke balik blouse yang aku kenakan, menurunkan cup braku dan memilin puncak payudaraku dengan gemas. Mendapat perlakuan seperti itu membuat tubuhku meremang dan memanas. Aku tidak tinggal diam dan membalas serangannya dengan meremas benda keras di antara pangkal pahanya. Sungguh aku menggilai percintaan panas menantang seperti apa yang kami lakukan saat ini. Tapi aku masih sedikit waras untuk menghentikan kegilaan ini sebelum berakhir di kantor Polisi.

Puas bermain bibir dan lidah membuat wajah kami menjadi merah karena gairah sudah mengalir ke seluruh tubuh. Bahkan aku bisa melihat kabut gelap di mata lelaki yang selalu berhasil membuatku tidak bisa berpaling. "Sayang... Sebentar saja, ya?" tanyanya dengan napas terengah dengan tangan yang memegang sesuatu di pangkal pahaku.

"Ini di mobil, Mas. Sebentar lagi lampu hijau dan giliran kita jalan," ucapku tidak kalah terengah dengannya.

"Kamu lihat gedung di depan sana?" tanya Mas Seto menunjuk gedung-gedung pencakar langit yang ku tahu adalah kawasan apartemen elite selain yang kami tinggali.

"Iya," jawabku dengan tangan masih memainkan benda keras di antara pangkal pahanya, membuat Mas

Seto mengerang nikmat dan menggigit bibir bawahnya. Bisa kalian bayangkan betapa seksinya wajah Mas Seto yang menahan gairah dengan mengigit bibir bawahnya? Biar aku ceritain saja ya gimana seksinya, hahaha... Ngelihat tampang dia yang seperti itu bisa bikin aku makin pengen cepetan sampe ke apartemen. Aduh Mas... Gimana Sasa bisa tobat kalau Mas selalu kasih kenikmatan yang HQQ ini.

"Mas punya unit apartemen di sana, kita ke sana sebentar sebelum ke rumah. Mas sudah nggak tahan, Sayang..." lirihnya sambip terus membuatku makin pengen cepat dijebol.

Ehaaa...

Dan akhirnya setelah lampu hijau mobil Mas Seto melaju membelah padatnya jalanan Ibu Kota untuk sampai di apartemen miliknya. Sekarang aku gak akan banyak tanya tentang apartemen dia ini, walau sebenernya kepo banget. Siapa saja yang sudah pernah dia bawa ke apartemen ini, karena jujur aku gak mau menggunakan ranjang yang pernah dipakai Mas Seto dengan sampah-sampahnya itu. Geli ngebayangin dia ngelakuin adegan hot hot joy sama perempuan lain.

Sesampainya di apartemen kami langsung melucuti pakaian masing-masing dengan bibir masih berpagutan. Jujur saja melakukan quick sex seperti ini jauh lebih menantang dari percintaan kita biasanya. Tidak ada pemanasan seperti biasa, karena sejak tadi kami sudah panas dan sangat siap untuk bercinta.

Mas Seto duduk di sofa dan membawa tubuhku di atas pangkuannya, membuat milik kami menyatu sempurna bersamaan dengan desahan dan pekikkan tertahan. Begitu nikmat karena miliknya terjepit sempurna di dalam inti tubuhku. Bahkan dia membantuku bergerak dengan liar dan aku terus menjilat leher dan telinganya. Dengan Mas Seto yang terus memainkan puncak dadaku yang mengeras sempurna.

"Aaahhh. Ampun, Masshh," desahku ketika dia meremas dadaku dengan kuat dengan miliknya yang menghujam dalam di bawah sana.

"Ampun apa, Sayang?" tanyanya dengan tatapan mata yang menggoda.

"Ampun jangan berhenti!" teriakku ketika dia menyentakkan miliknya semakin dalam dan tak berapa lama kami memekik bersamaan karena berhasil mencapai puncak kenikmatan surga dunia.

"Mendaki gunung, lewati lembah. Sungai mengalir indah ke samudera, bersama teman bertualang," senandungku dengan napas terengah setelah tubuhku ambruk di atas tubuhnya.

"Ngapain kamu nyanyi lagu Ninja Hatori?" tanyanya dengan alis menyatu.

"Kan Mas habis mendaki gunung, lewati lembah sampai sungainya mengalir indah ke samudera kenikmatan bersama teman tapinya, Mas," tawaku yang dihadiahi ciuman bertubi-tubi di wajah.Hampir satu jam kami memuaskan kebutuhan biologis yang selalu terasa kurang jika sudah menyatu.

Dan kini moodku sudah membaik setelah mendapat asupan darah putih dari Mas Seto. Setidaknya aku sudah siap untuk menghadapi kenyataan di depan sana, berhadapan dengan keluarga Kusumo. Jadi serem kan kalau ingat apa yang akan aku hadapi kali ini, karena mulutku harus bisa dikontrol.

"Sayang, nanti kalau mau ngomong kamu harus hati-hati, ya. Jangan asal jeplak seperti biasa," ucap Mas Seto memperingatkanku.

"Iya. Tapi ngapain juga sih kita harus ke rumah Mas? Nggak bisa gitu ke tempat lain saja yang seru, Tangkuban Perahu gitu misalnya?" tanyaku yang membuatnya mendelik tajam.

"Mau ngapain ke Tangkuban Perahu?" tanya Mas Seto dengan menautkan alisnya menatapku.

"Ketemu Sangkuriang, kali saja jodoh," cengirku yang dihadiahi cubitan di paha.

Buset nih laki, sakit banget itu cubitan dan kayaknya doi emang niat banget melakukan KDTEE.

"Awww... Sakit tahu, Mas. Niat banget ya ngelakuin KDTEE ke Sasa," protesku sambil membelai lembut pahaku yang masih terasa nyeri karena cubitannya.

"Apaan lagi itu KDTEE?"

"Kekerasan Dalam Teman Ena Ena," tawaku yang membuatnya memutar bola mata jengah.

"Sinting!!!" decak Mas Seto yang membuat tawaku semakin pecah.

Setelah puas tertawa aku lebih memilih diam dan memainkan ponselku. Sekarang aku lagi stalking Instagram penulis kesukaanku di Wattpad. Namanya Mareta Hill, dia lagi nulis cerita gila tentang Teman Tapi Ena Ena yang sedikit mirip sama kisahku dan Mas Seto. Cuma bedanya di cerita yang dia tulis itu si cowok juga cinta sama si cewek. Lah ini di ceritaku mana ada, Mas Seto mah nggak cinta aku. Mungkin dia cuma cinta sama pangkal pahaku saja, miris.


Teman Tapi???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang