Bab 4

526 8 0
                                    

Kicauan burung terdengar sangat merdu di pagi yang cerah ini, walau aku belum tahu pagi ini benar-benar cerah atau nggak. Secara tirai di kamar masih tertutup rapat, sama seperti selimut yang menutupi tubuh kami. Perlu diingatkan, setelah makan di tengah malam tidak ada aktifitas makan dan dimakan seperti biasanya. Tubuhku terlalu lelah setelah perjalanan dari Sumbawa ke Lombok dan dari Lombok ke Jakarta. Belum lagi dari Jakarta ke Surga Dunia, pake keringetan dan ngap-ngapan buat nyampenya.

Aku memang sudah bangun sejak beberapa menit lalu, hanya saja rasanya enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Apalagi dari dekapan hangat lengan kekar dan dada bidangnya Mas Seto yang aduhai.

Sekali lagi aku berpikir bagaimana hidupku tanpa kehadirannya. Tanpa chat absurdnya, senyum manis dan jahilnya, omongan mesumnya, ketampannya, erangan dan desahannya. Melihat wajah tenangnya saat tidur begini membuatku terlalu nyaman, sampai-sampai lupa kalau hubungan kita ini nggak lebih dari sekadar teman.

"Hmmm..." gumamnya dengan mata masih tertutup, sedangkan aku membelai lembut lengan kekarnya agar dia kembali tertidur.

Cup...

"Morning, Sayang," ucapnya setelah mengecup bibirku sekilas.

"Bangun, Mas. Sudah siang, nggak ngantor, kan, Sabtu ini?" tanyaku berusaha melepaskan diri dari pelukannya yang semakin erat.

"Nggak. Kecuali Papa telepon atau ada masalah di kantor, baru Mas tinggalin kamu," jawabnya sembari menenggelamkan wajah di ceruk leher.

Ampun, Ya Allah!!! Maysa Farani gak kuat kalau lehernya diendus, dan diketjup-ketjup manja begini. Takut khilaf enak lagi, sudah fix ini mau tobat. Nggak lagi, deh, mau ditidurin dan nidurin kalau belum nikah. Mudahkanlah jalan tobat hamba, aamiin...

"Mas jangan diendus-endus, Mas orang, kan? Bukan kucing kan?" cerocosku yang dihadiahi ciuman dan cubitan di hidung.

"Iya, bawel."

Buset, dah! Masih pagi dikatain bawel, mana dia langsung bangun saja gitu melengos ke kamar mandi. Aku pikir mau tobat itu gampang, segampang ngomongnya. Tapi nyatanya godaan iman itu begitu nyata, di depan ada ikan bandeng presto tanpa duri yang dibakar pake bumbu pedas. Enak banget kan?

Mana ada kucing yang nolak dikasih begituan. Sorry, aku nggak mau pake perumpamaan ikan asin. Karena Mas Seto terlalu berharga untuk disamakan dengan ikan asin, walau di luar negeri harga ikan asin mahal banget dan langka. Tetap saja aku pilihnya ikan segar sejenis Mas Arizza Seto Kusumo.

"Yang...!!!" panggilnya dari balik pintu kamar mandi.

"Apaan sih, Mas? Ini Sasa, bukan kuyang!!!"protesku beranjak dari atas tempat tidur.

"Kuyang apaan?" tanyanya bingung ketika aku baru memasuki kamar mandi.

"Hantu!" jawabku ketus.

"Hantu apa? Mas baru denger ada hantu namanya

'kuyang'?" Mas Seto semakin mengerutkan kening.

"Mas kenapa manggil Sasa? Mau minta apa?"tanyaku mengalihkan pembicaraan dan membuatnya menunjuk-nunjuk wajahku.

"Nah itu! Mas mau minta tolong diambilin handuk dong, nggak bawa tadi," kekehnya kembali menyabuni tubuh telanjang yang sekali lagi minta dijamah.

Aduh pagi-pagi ini otak sudah nggak bener saja coba! Kesel kalau sudah begini, mana bentar lagi kita sayonaraan gak ada cerita mesum penuh kenikmatan lagi. Akhirnya aku memutuskan keluar dari kamar mandi dan mengambil handuk yang semalam ia sampirkan di sandaran kursi.

"Nih!" aku meletakkan handuk di tempat handuk yang ada di kamar mandi.

"Makasih, ya, Sayang. Jadi sudah bisa cerita apa itu 'kuyang'?" tanyanya yang ternyata masih penasaran dengan istilah nama hantu yang aku sebut tadi.Aku memutuskan duduk di atas closet yang tertutup, memperhatikan setiap geraknya di bawah pancuran. Hanya satu kata yang bisa aku katakan saat ini, "Hwat!!!"

Teman Tapi???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang