Bab 15

230 7 0
                                    

Sumpah sekarang aku mau menenggelamkan diri saja di Penangkaran Buaya Teritip. Bang Farhan memang gak banyak omong, tapi aku tahu dari nada bicaranya dia kecewa dan marah banget sama aku.

Tapi mau gimana lagi? Semuanya sudah terjadi dan sekarang aku hanya berusaha menjalani kehidupanku senormal mungkin. Walau kehidupanku jauh dari kata normal, apalagi aku sudah candu dengan kehadiran Mas Seto dalam hidupku.

"Abang harap kalian segera mengakhiri kegilaan itu, dan ingat satu hal. Kalau Abang akan tetap sayang sama kamu walau jujur kamu sudah sangat mengecewakan keluarga, Dek."

Keringat dingin semakin mengucur deras di seluruh tubuhku, kenyataan tentang Abang Farhan yang tahu segalanya membuatku syok. Aku tidak pernah menyangka semuanya akan diketahui oleh abang sekaligus saudara tunggalku. Apalagi bicara tentang Arkan, bukannya aku tidak mau mengakui kehadirannya. Hanya saja aku tidak siap jika harus kehilangan keluargaku karena kesalahan yang aku perbuat. Dan lagi Arkan tidak bersalah dalam hal ini, hanya aku yang bersalah.

"Sejak kapan?" tanyaku dengan suara tercekat.

"Sejak beberapa bulan lalu saat Irfan lihat kamu sama dia di Malaysia," jawab Bang Farhan terdengar dingin dan membuatku merinding.

Lagi-lagi ada yang melihat kemesraanku dengan Mas Seto di Malaysia. Irfan Aryansyah, sahabat Bang Farhan yang naksir berat sama aku. Bukannya sok kepedean, tapi memang pada kenyataannya seperti itu.

Berharap gak ada yang kenal saat di Malaysia, tapi pada kenyataannya banyak yang kenal aku. Sial banget cuma demi ena ena semuanya jadi seperti ini.

"And how about Arkan?" tanyaku lagi dengan takut takut.

"Abang dengar waktu kamu mengigau dan meminta maaf karena membuatnya pergi," jawabnya lirih dan aku bisa merasakan bahwa Bang Farhan sedih, walau aku tidak tahu kenapa dia sedih.

"Papa sama Acil Maysa ngomongin apa? Keenan dari tadi nggak ngerti," protes Keenan yang sejak tadi kami acuhkan.

"Keenan nggak perlu ngerti, Sayang. Papa cumatanya gimana kerjaan Acil di sana," jawab Bang Farhan pada Keenan yang rasanya sudah ingin sekali ku lempar ke kali karena lagi-lagi panggil aku 'Acil'.

"Keenan, panggilnya Tante dong bukam Acil."

"Tapi kata Papa artinya sama," jawabnya polos dengan mata bulatnya yang menggemaskan.

"Bang!!!" rengekku sedikit manja, melupakan jika saat ini Bang Farhan masih berasap perihal kelakuan gilaku selama ini.

Akhirnya selama perjalan kami lebih memilih diam dan larut dalam pikiran masing-masing, lebih tepatnya aku sedang memikirkan nasibku ke depannya. Apa Ayah dan Ibu tahu tentang semua ini? Jujur saja aku lebih takut Ayah terkena serangan jantung dari pada digantung terbalik, karena aku merasa sangat durhaka jika hal itu terjadi. Apalagi aku sangat dekat dengan Ayah yang selalu menjadi cinta pertamaku sebelum Mabang itu.

"Sampai..."

Keenan bertepuk tangan riang saat mobil SUV yang kami naiki memasuki pekarangan rumah, aku pun berkaca-kaca melihat rumah masa kecilku. Di dalam sana pasti Ibu sedang memasak dan Ayah sedang menonton TV, entah acara apa. Tapi aku masih selalu ingat kebiasaan kedua orang tuaku.

"Assalamu'allaikum... Ayah, Ibu, Maysa pulang!" teriakku dengan sedikit berlari memasuki rumah dan aku bisa melihat Ayah tersenyum hangat padaku di ruang TV.

"Wa'allaikum sallam anak Ayah yang cantik," jawab Ayah sembari berdiri dan memeluk tubuh mungil seperti biji kuaci ini.

"Kenapa harus teriak-teriak, sih, Dek? Ibu dan Ayah pendengarannya masih bagus," terdengar suara Ibu memasuki ruang TV dan memelukku.

Aku bisa merasakan hangatnya sebuah keluarga dan tidak ingin kehilangan semua ini karena kesalahan yang telah aku lakukan. Egois memang, tapi pada kenyataannya itulah yang aku rasakan saat ini. Tanpa sadar air mataku telah luruh membasi pipi, aku kembali teringat dengan ucapan Bang Farhan saat di jalan tadi.

Aku harus mempertanggung jawabkan perbuatanku dan Mas Seto. Mungkin aku akan mulai jujur tentang Arkan dan keadaanku pada Ayah dan Ibu, sebelum mereka tahu dari orang lain.

"Hey... Kenapa nangis, Sayang?" tanya Ayah yang menyadari aku menangis.

"Maaf ya karena Maysa nggak bisa jadi anak yang baik buat Ayah dan Ibu selama ini," isakku tertahan karena ku rasa sekarang bukan saatnya untuk jujur dan membuat Ayah anfal karena terkena serangan jantung.

"Biarin saja, Bu. Mungkin Maysa kecapean habis dari perjalanan jauh."

Aku menoleh ke arah Bang Farhan yang tersenyum simpul sambil mengangguk pelan. Rupanya dia melindungiku dari menyakiti hati Ayah dan Ibu, sungguh kali ini aku merasa jadi anak yang tidak berguna. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan mengistirahatkan diri di sana.

Setelah puas tidur sejak sore, aku keluar dari kamar dalam keadaan segar dan sudah mandi. Kini aku memilih untuk duduk di sisi Ayah, lebih tepatnya bermanja-manja dengan cara mencium ketiak Ayah. Kebiasaan yang selalu aku lakukan sejak kecil, bahkan aku pun melakukannya pada Mas Seto. Eeh... Sampai lupa kan, ponsel aku kehabisan daya dan belum di charge. Pasti itu Mas ganteng sudah sampai di Surabaya, ku harap dia nggak ketemu sama sampah-sampahnya di sana.

Kalau sampai Mas Seto berani melakukannya, lihat saja apa yang akan aku lakukan nanti. Tapi memangnya apa yang mau aku lakukan kalau sampai di Surabaya dia ada main sama mbak-mbak dada bakul buah-buahan? Aduh aku bingung, tapi yang jelas aku nggak terima kalau sampai ada bunglon yang nemplok ke badanya Mas Seto.

Aku kembali ke dalam kamar untuk mencharge ponselku, karena aku sangat merindukan lelakiku itu. Biarpun Mas Seto absurd dan tingkahnya kadang nyeleneh, aku tetep cinta kok nggak pake nawar kayak di pasar. Setelah memastikan ponselku dalam keadaan menyala dan kabel terpasang sempurna aku memutuskan untuk kembali bergabung bersama Ayah di ruang TV.

"Gimana kerjaannya, Sayang?" tanya Ayah sembari mengusap lembut rambut dan kepalaku.

"Alahmdulillah lancar semua, Yah. Sasa juga punya bos yang baik walau kadang tingkahnya bikin Sasa pengen lempar dia ke bekas kerukan tambang," ucapku yang langsung dihadiahi cubitan di pipi oleh Ayah.

"Kamu ini kalau ngomong suka semaunya. Ingat, Sa, kalau kamu sudah bukan anak kecil lagi dan bahkan kamu sudah pantas untuk punya anak," nasihat Ayah yang pada akhirnya berakhir dengan petaka untukku. Tentu saja karena mulut nyinyirku sendiri yang membawa petaka dalam hidupku.

"Ya memang Sasa bukan anak kecil lagi, Yah. Bahkan Sasa juga sudah punya Arkan."

Setelah mengucapkan kalimat panjang itu atmosfer di ruangan ini berubah menjadi gelap dan suram, sepertinya aku sudah salah bicara. Mampus!!! Tadi aku nyebut nama Arkan di depan Ayah, dan itu artinya aku sedang menggali kuburanku sendiri. Ayah melepaskan belaian tangannya dari kepala dan rambutku, sekarang ia menghadapku dan menatap tajam dengan mata kecilnya itu.

"Arkan? Siapa Arkan?" tanya Ayah dengan nada mengintimidasi yang kental.

Mampus!!! Kali ini aku beneran mampus dan sudah nggak bisa mengelak lagi, mungkin sudah saatnya aku jujur tentang keadaanku. Urusan digantung aku sudah pasrah, karena aku memang sudah melakukan salah selama ini. menghancurkan kepercayaan mereka dengan kegilaanku. Arkan Arriza Kusumo juga butuh pengakuan dari keluargaku, ku harap Ayah dan Ibu bisa menerimanya seperti keluarga Kusumo. Walau pada akhirnya mungkin aku harus terasingkan dari mereka, setidaknya bebanku sedikit berkurang. Lebih tepatnya rasa bersalahku pada Arkan.

"Anak Maysa, Yah..."

Teman Tapi???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang