Bab 8

342 9 0
                                    

Aku masih berdiri di dekat toilet, menunggu lelaki tercintaku cuci tangan dan lengan dari virus buah dada. Sumpah aku jijik banget sama perempuan-perempuan sampahnya Mas Seto. Pengen aku karungin semua terus buang ke Samudera Hindia biar dimakan hiu. Berani banget ngepit lengan kekarnya Mas Seto pake aduh apa itu namanya? Terlalu menjijikkan untuk ku sebut.

Sejujurnya detak jantungku masih belum beraturan pasca ucapan Mas Seto yang asal tadi. Dia bilang biar lancar pas ijab qabul di depan Ayah, sumpah aku mau pingsan. Semua perlakuannya dia itu bikin aku makin sulit dengan perasaan cinta yang dia nggak tahu ini. Rasanya terlalu menyiksa saat perasaan ini semakin menjadi dan aku semakin mentok sama hubungan kami yang juga mentok ini. Kalau sudah begini rasanya pengen ngadu ke Arkan saja soal kelakuan Daddynya.

Arkan Arizza Kusumo, buah cintaku dan Mas Seto yang tidak sempat terlahir ke dunia dalam keadaan bernyawa. Bahkan kehadirannya di dalam perutku pun aku tidak tahu, jadi kehilangannya pun begitu memukulku saat itu. Apalagi Mas Seto sempat marah karena berpikir aku sengsaja menutupi kehadirannya dan tidak menjaganya dengan baik. Tapi tidak berlangsung lama, karena setelahnya Mas Seto sudah baik-baik saja. Bahkan dia memberikan pemakaman yang layak untuk anak kami, memberikan nama yang indah untuk janin yang kelaminnya sudah terbentuk itu.

"Mommy kangen, Nak..." lirihku menghapus air mata yang tidak sadar sudah luruh ke pipi.

Sekali lagi aku merasa cairan bening luruh dari pelupuk mataku, mengingat semua kelakuan berengsekku selama ini. Semua ini karena Mabang, seandainya saja dia tidak mengkhianatiku dan aku memergokinya di hari wisudaku. Mungkin semuanya tidak akan sekacau sekarang, tapi tidak saja yang bisa menjamin kalau semuanya akan jauh lebih baik. Aku akan bercerita sedikit tentang masa laluku dengan Mabang, dia seniorku di salah satu PTN di Jakarta.

Namanya Bagas Daryawan, orangnya pintar mantan Ketua BEM dan popular tentu saja. Dan aku hanya junior yang seperti biji ketumbar nyempil di antara gemerlapnya merica hitam, bukan malika si kedelai hitam.

Dulu saat kami masih menjalin hubungan, aku juga memiliki sahabat bernama Viola Agatha. Jadi kami sering jalan bertiga saat tidak kuliah bahkan saat di kampus, dan kalian pasti sudah bisa menebak apa yang mereka lakukan padaku. Seandainya mereka hanya berselingkuh saja mungkin aku bisa memaafkan lebih msudah, atau melupakannya seperti kotoran yang ku buang setiap hari dan setiap pagi. Tapi sayangnya yang mereka lakukan itu begitu menghancurkanku dan menenggelamkanku sampai ke titik terendah.

Bertepatan di hari wisudaku, Bagas juga hadir, mendampingi bersama dengan keluargaku. Bahkan Viola bekas sahabatku juga wisuda di hari yang sama, maaf karena kalau aku menyebutkan kata mantan untuknya terlalu berkelas. Jadi lebih baik aku menyebut mereka bekas masa laluku, itu jauh lebih baik demi kesehatan jasmani dan rohaniku walau tanpa senam SKJ setiap Jumat pagi.Jadi ceritanya waktu itu aku lagi nyari mereka buat ngsajak foto bareng, tapi nggak tahu pada ngilang ke mana.

Sampai ada teman satu fakultasku bilang kalau dua orang biadab itu jalan bareng ke arah kelas. Ya sudah aku ikutin deh apa kata mereka, sampai kakiku berhenti melangkah tepat di depan kelas dengan suara-suara aneh yang bikin bulu kudukku merinding. Dengan jantung yang berdetak tidak keruan ku coba untuk mengintip dari celah pintu, dan tampilah sepasang anak manusia yang sedang mendaki puncak kenikmatan dunia. Bangsat!!! Mereka ngeseks di kelas fakultas dengan Viola yang masih mengenakan Toga dan Bagas masih dengan batiknya yang aku beliin sebagai kado ulang tahunnya bulan lalu, karena dia memang pencinta batik.

Setelah kejadian itu aku memilih untuk kembali ke keluargaku dan pulang untuk melakukan foto studio hanya dengan anggota keluarga kami sendiri. Tanpa ada Viola atau Bagas di dalamnya, sejak hari itu aku memutuskan hubungan dengan keduanya. Menghilang tanpa jejak, mengganti nomor dan tidak aktif di sosial media dan mengabaikan semua pesan yang mereka kirim. Hatiku jadi mati rasa sejak hari itu, sulit rasanya untuk berekspresi seperti biasa. Tapi hal itu tidak berlangsung lama karena aku sudah mendapatkan pekerjaan di Sumbawa, setidaknya aku memiliki pengalihan atas rasa sakit dan kecewaku.

Teman Tapi???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang