Bab 12

326 9 0
                                    

Sumpah saat ini rasanya ingin sekali aku meledakkan tempat ini hingga rata dengan tanah. Aku melihat senyum perempuan di pelaminan itu, bisa ku bayangkan betapa bahagianya dia saat ini.

Dan aku semakin kesal saja membayangkan jika perempuan itu adalah teman tidur alias salah satu sampahnya Mas Seto. Tega-teganya dia mengajakku ke tempat ini dan bertemu dengan perempuan sialan itu.

"Sayang, kamu kenapa, sih?" tanya Mas Seto sembari memandang wajahku yang tidak bersahabat.

"Mas yang kenapa?" tanyaku ketus.

"Mas kan nggak kenapa-kenapa, Sayang," jawabnya lembut sembari terus menautkan tangan kami yang sudah ingin ku lepaskan dari tadi.

"Katanya kita ke resepsi pernikahan sahabat Mas, tapi ini apa?" debatku membuatnya semakin terlihat bingung.

"Ya memang yang nikah ini sahabatnya Mas. Kamu pikir siapa?" tanyanya sembari menggiring tubuhku menuju pelaminan untuk bersalaman dengan kedua mempelai.

"Sampahnya Mas, lah," jawabku masih dengan nada ketus dan membuatnya tersenyum jahil.

"Kamu ini ada-ada saja, deh, sahabat Mas itu yang jadi suami bukan yang jadi istri. Lagian Mas juga gak terlalu kenal sama perempuan itu, hanya beberapa kali ketemu di acara teman-teman yang lain," tukasnya yang membuatku sedikit bernapas lega walau masih ada perasaan kesal di dalam hati.

Aku berdoa dalam hati semoga hati dan mulutku bisa tahan untuk nggak nyinyir. Setidaknya sampai kami sudah meninggalkan ballroom ini, bagaimana pun juga aku tidak ingin membuat Mas Seto malu. Apalagi tingkahku kadang memang sedikit absurd, tapi kali ini aku harus tahan-tahan diri biar nggak nyinyir sama pengantin wanita itu. Sabar... Lirihku dalam hati untuk diri sendiri yang sudah hampir meledak karena salah sangka.

Langkah kakiku terus berjalan mendekati pelaminan bersama dengan Mas Seto. Terkadang aku tersenyum pada beberapa orang yang juga aku kenal dan Mas Seto kenal. Walau jujur aku cukup risih dengan cara beberapa wanita memandangi Mas Seto dengan tatapan lapar. Rasanya ingin ku congkel mata mereka semua biar gak jelalatan lihatin calon suami orang.

Oopss!!! Tadi Sasa bilang apa, teman-teman? Calon suami? Sejak kapan, sih, Mas Seto jadi calon suami aku? Jangan baper dong hati dan pikiran aku cuma karena omongan asalnya Om Wirya. Karena mungkin saja tadi sore aku cuma berhalusinasi kalau Om Wirya nyuruh Mas Seto segera mengurus pernikahan kami. Mungkin akibat kebanyakan asupan darah putih dari Mas Seto sejak kemarin.

"Pelan-pelan Sayang naik tangganya, tetap pegang tangan aku," bisik Mas Seto tepat di telingaku yang berhasil membuat para wanita di sana semakin menatapku tidak suka.

"Iya, Sasa bisa kok. Ngapain juga sih pegang tangan Mas Seto terus? Sasa kan bukan orang buta atau pincang yang harus di tuntun," protesku yang sekali lagi hanya dihadiahi senyuman manis yang bikik aku semakin meleleh dan pengen cepat-cepat balik ke apartemen buat di eramin.

"Maysa...!!!"

Bisa ku dengar dengan jelas suara iblis itu menggaung di telingaku dan telinga seluruh tamu undangan resepsi ini. Sumpah rasanya ingin ku cakar saja itu yang tadi teriak manggil namaku. Aku sedang bersungut-sungut kesal saat Mas Seto membalikkan wajahku hingga kini wajah kami berhadapan. Tatapan sendu yang menghanyutkan itu berhasil menurunkan sedikit emosiku yang sudah berasap di kepala. Sepertinya Mas Seto tahu apa yang sedang terjadi padaku, aah tapi apa mungkin? Bukannya Mas Seto itu tingkat kepekaannya rendah?

"It's okay," bisiknya di telingaku ketika kami sudah berada di depan kedua mempelai.

Mas Seto menyalami kedua mempelai, bahkan memeluk hangat pengantin pria yang katanya adalah sahabat dia. Tapi aku hanya menjabat kecil tangan kedua orang itu, bahkan aku menolak mentah-mentah saat pengantin perempuan berwajah cantik itu ingin memelukku. Aku berjalan mundur dan memberi jarak di antara kami, menatap tajam matanya yang ku lihat sangat merindukanku. Tapi sayangnya aku sama sekali tidak bisa merindukannya, setelah apa yang dia perbuat.

Teman Tapi???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang