Bab 6

400 11 0
                                    

Aku masih berdiri di dekat pintu masuk butik yang menjadi tempat perburuanku pertama saat suara makhluk astral tak kasat hati itu muncul. Nggak kebayang deh aku bakalan lihat lagi tuh muka ganteng dengan senyum yang pake asin-asinnya gitu. Ini Mabang ngapain pake manggil segala, sih? Bikin moodku makin terjun bebas saja, baru mau memperbaikin moodsetelah lihat Mas Seto sama wanita melon. Ini lagi Mabang jangkrik muncul di depan muka, sumpah pengen bakar nih orang hidup-hidup.

"Maysa, kok kamu diem saja aku panggil?" tanyanya polos seperti bandeng tanpa duri.

"Kenapa memangnya manggil-manggil? Gue ada utang?" tanyaku balik dengan berkacak pinggang dan mata tidak bersahabat.

"Kok lo gue sih? Aku masih pacar kamu," ucapnya terlihat lembut seperti softener yang kalau kena tangan aku bikin gatel. Bukan alergi, tapi pengen nampol kepalanya dia ini saking keselnya.

"Gundulmu!" ucapku sedikit nyaring saat memasuki butik sepenuhnya untuk melihat tas yang ku incar.

"Kamu kenapa makin kasar gitu, sih, Sa? Kamu tuh ngilang tahu, nggak, sejak wisuda, terus nomor kamu gak aktif. Aku bingung mau hubungin kamu, alamat keluarga kamu di Kalimantan aku juga nggak tahu," bacotnya aduh bikin gendang telingaku mau pecah saja.

"Itu, sih, derita lo! Ya, aneh saja kalau alamat pacar sendiri nggak tahu. Situ melawak?" cibirku dengan gayaku yang sudah tidak peduli dengan keadaan sekitar.

Dan beberapa pengunjung dan staff butik lagi pada perhatiin pergerakan kami lagi. Bisa, nggak, sih, ini orang di tenggelamin juga ke Bantar Gebang? Biar doi gabung sama sampah-sampah masyarakat di sana. Kalau aku lupa sama apa yang sudah dia lakuin dulu mungkin gak masalah ketemu dia lagi. Masalahnya aku inget banget apa yang sudah dia lakuin ke aku dulu, dengan berengseknya. Sampai aku harus dibantuin Mas Seto untuk benerin hati aku yang hancur berkeping-keping.

"Gue khawatir sama kamu, Sa. Tiba-tiba menghilang gitu tanpa kabar," dan masih berlangsung saudara-saudara. Mabang masih beraksi, seakan-akan tidak pernah berbuat salah. Vanke!

"Ngapain juga lo nyari gue? Perasaan nggak ada tanggungan apa-apa sama lo," ketusku sembari mengecek tas yang ingin ku beli.

Jujur saja aku kesal dan merasa kurang sopan sama mbak mbak pramuniaga yang ngelayanin aku. Dari tadi cuma nunjuk-nunjuk nggak pake ngomong karena ada nih orang di samping aku. Mana sekarang berani banget mulai pegang tangan aku yang bebas. Mau ngapain lagi, sih, ini orang?

"Saya minta yang baru dengan warna yang sama ya, Mbak. Jangan yang display, please," ucapku dengan senyum ramah sembari berbalik.

Niatnya mau marahin ini Mabang, eeh tahunya aku lihat Mas Seto masuk ke butik dan menyipitkan mata ke arahku. Bukan menyipitkan mata karena nggak lihat keberadaanku, dia lihat banget malah. Kalau dilihat dari wajahnya, sih, sepertinya dia nggak suka. Tapi, ya, aku bisa apa dong? Ini Mabang emang dasarnya bangsat saja dari dulu. Dan baru saja aku mau menyapa Mas Seto saat berhasil melepaskan tanganku dari Mabang, aku kembali dibuat mendidih dengan pemandangan di depanku.

"Arriza...!!!" panggil suara manja dan melengking itu pada Mas Seto yang tersenyum kaku sambil melirik ke arahku dengan delikan mata tajam.

Dan kalian tanya seperti apa reaksiku? Ya tentu saja memutar bola mata malas, karena sekali lagi aku harus melihat adegan menggelikan. Tolong ingatkan aku untuk mencuci tangan dan lengan Mas Seto dengan air beras. Sumpah itu lengan dan tangan sudah terkontaminasi sama pepaya, melon dan sekarang semangka. Sumpah!!! Gede banget itu buah di dada, mana lancang banget lagi ngejepit lengan berototnya Mas Seto. Fix!!! Aku marah sampai nggak sadar bentuk wajahku sudah terlihat aneh banget nih pasti.

"Kamu kenapa, Sa? Lihat apa, sih?" tanya Mabang padaku sembari mengikuti arah pandanganku yang jatuh pada Mas Seto sama wanita itu.

"Kamu ke mana saja, sih? Masih di Jakarta saja susah banget di temuinnya," suara manja itu lagi yang ku dengar.

Teman Tapi???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang