Bab 9

308 10 0
                                    

Sepanjang perjalanan kami lebih memilih diam dengan iringan radio dan suara deru mesin mobil.Rasanya sudah berulang kali aku ingin mengumpat karena lagi-lagi penyiar radio dan yang request lagu pada kampret semua. Ada apa sih dengan tema acara mereka hari ini? Kenapa semuanya ngebahas hubungan dan perasaan sih? Nggak tahu apa di sini ada orang yang sedang merana karena cintanya ditolak secara tidak langsung. Sampai tiba di satu lagu dangdut yang biasa teman-teman di mess putar kalau lagi ngumpul.

Akupun ikut menyanyikannya tanpa peduli tatapan tidak suka dari Mas Seto, bahkan semakin ku keraskan volume radio itu agar dia paham. Apalagi ini lagu ada Jawa-Jawanya gitu, pasti ngerti lah ini Mas.

"Apa salah dan dosaku, Sayang? Cinta suciku kau buang-buang, lihat jurus yang kan ku berikan jaran goyang... Jaran goyang..."

Ku lirik Mas Seto yang menggelengkan kepalanya saat mendengar suaraku yang kacau balau seperti kucing kawin yang berisiknya ampun-ampun.

Sayang, janganlah kau waton serem.

Hubungan kita semula adem.

Tapi sekarang kecut bagaikan asem.

Semar mesem, semar mesem.

Jurus yang sangat ampuh, teruji terpercaya tanpa anjuran dokter, tanpa harus muter-muter cukup siji solusinya, pergi ke mbah dukun saja.

Langsung sambat, "Mbah, saya putus cinta."

Kalau tidak berhasil, pakai jurus yang kedua Semar mesem namanya, jaran goyang jodohnya.

Cen rodok ndagel syarate, penting di lakoni wae

Ndang di cubo, mesthi kasil terbukti kasiate, genjrot.

Dan dudidam aku padamu, I love you.

I can't stop loving you oh darling.

Jaran goyang menunggumu.

"Sayang, kamu nyanyi apaan sih?" protes Mas Seto saat aku terus mengikuti lagu di radio, bodo amat sama telinga kamu Mas. Aku butuh pelepasan dari rasa gunda gulana akibat ketidak pekaan kamu.

Apa salah dan dosaku, sayang, cinta suciku kau buang-buang.

Lihat jurus yang kan ku berikan, jaran goyang, jaran goyang.

Sayang, janganlah kau waton serem, hubungan kita semula adem.

Tapi sekarang kecut bagaikan asem, semar mesem, semar mesem.

Wes cukup stop mandekko disek sek sek.

Jangan bicara jangan berisek sek sek.

Gek ayo ndang mangkat ndukun, rasah kakean ngelamun.

Ndukun, ndukun , ndukun ayo ndukunAnd slow, woles woles baby baby.

Rasakno aku wes wani perih baby.

Rungokno, ku alami hal sama dengan dirimu.

Bojoku mencampakkan diriku, podo bojomu podo tanggamu.

Dan dudidam aku padamu, I love you.

I can't stop loving you oh darling.

Jaran goyang menunggumu.

Dan setelah itu suara musik di radio tidak lagi terdengar karena Mas Seto mematikannya dan sekarang ini dia sedang menatapku tajam. Aku bisa merasakan dia sedang bertanya dari caranya menatapku, tapi aku malas untuk menjawabnya, tidak ada kewajiban untuk menjawab pertanyaannya. Dan jujur aku memang sangat malas untuk banyak bicara, capek mulut capek hati. Capek mulut kalau dia cium masih mending, ada enak dan manis-manisnya gitu, lah kalau capek hati nggak ada enak-enaknya. Sudah seperti berada di hamparan gurun pasir yang gersang dan berharap ada sumur air dan pohon kurma tiba-tiba nongol.

"Kita sudah sampai di makamnya Arkan dan Mas harap kamu nggak berbuat nyeleneh di makam anak kita," ucapnya sarat akan peringatan yang membuatku bergidik ngeri, aura pemimpinnya kentara banget.

"Siapa juga yang mau nyeleneh di makam anak sendiri, Mas kali. Mana tahu ada Mbak-mbak dengan dada bakut tiba-tiba nemplok saja gitu di lengan mas kayak cicak nyari nyamuk buat dimakan," cerocosku membuatnya semakin membulantakn mata dengan gak santainya.

"Gila..." desisnya sebelum keluar dari mobil dan hanya membuatku menggerutu kesal.

Kami berjalan menyusuri area makam untuk bertemu dengan anak kami, Arkan Arriza Kusumo dan menyalami Bapak-bapak yang biasa mengurus makam. Aku bisa melihat Mas Seto cukup akrab dengan pria paruh baya itu, sepertinya Mas sering mengunjungi Arkan tanpa aku. Setidaknya aku bisa merasakan lelaki absurd di depanku ini juga menyayangi anak kami yang tidak sempat terlahir ke dunia dalam keadaan hidup.

Sekali lagi aku menyalahkan diri sendiri atas kelalaianku menjaganya untuk tetap tumbuh di dalam rahimku, tidak peduli dengan risiko digantung Ayah dengan posisi terbalik.

"Assalamu'allaikum, Arkan sayang. Hari ini Daddy dateng bareng Mommy kamu," ucap Mas Seto ketika sudah berjongkok tepat di depan makam kecil dengan nisan marmer bertuliskan nama Arkan Arriza Kusumo bin Arriza Seto Kusumo.

Tanpa sadar air mataku menetes melihat nisan putra kecilku, tidak tahu kenapa tapi aku akan selalu seperti ini setiap kali mengunjungi makamnya. Aku tidak akan mengsajaknya bicara seperti yang Mas Seto lakukan saat ini, yang aku lakukan hanya berdoa dan meminta maaf sebanyak-banyaknya dalam hati.

Meminta maaf karena aku membuatnya hadir dengan keadaan yang salah dan tidak benar, semua karena kebodohan dan kenaifanku sebagai orang yang pernah kecewa dan terluka.

"Ma, itu bukannya Mas Seto, ya? Ngapain Mas di makam?"

Sialan! Umpatku dalam hati ketika mendengar suara perempuan bernada manja tidak jauh di tidak mendengar. Aku hanya berdoa dalam hati semoga kali ini buka Mbak-mbak dengan bakul di dada dan langsung nemplok seperti yang aku takutkan tadi.

Kasihan Arkan kalau sampai melihat kelakuan bejat Daddynya di makamnya sendiri, sungguh keterlaluan kalau sampai seperti itu.

"Iya, ya? Ngapain Mas kamu di pemakaman? Terus makam siapa itu? Sama perempuan lagi."

Bisa ku dengar dengan jelas suara ibu-ibu dan ku harap bukan nenek lampir atau semacamnya, karena bisa ku pastikan aku akan mengamuk di depan makam Arkan. Karena aku tidak mau di alam sana pun anakku tahu kelakuan bejat kedua orang tuanya di dunia. Sampai aku bisa mendengar suara gumaman tepat di belakangku saat membaca nama Arkan di batu nisan.

"Arkan Arriza Kusumo bin Arriza Seto Kusumo?"

Seketika itu juga ku lirik Mas Seto yang tubuhnya menegang dan aku memalingkan kepalaku ke arah suara, seorang wanita paruh baya dan wanita muda yang cantik dan anggun berdiri tepat di belakang kami. Untuk sesaat aku terpukau dengan kehadiran kedua orang itu, namun tidak sedetik kemudian. Karena aku bisa merasakan Mas Seto menggenggam tanganku erat sambil berdiri menghadap kedua orang tadi.

"Seto, bisa jelaskan apa maksudnya ini? Siapa Arkan Arriza Kusumo yang binnya pake nama kamu?" buset dah ini ibu-ibu mukanya antagonis banget kayak di sinetron yang panjangnya sampai ribuan episode itu.

"Seto bisa jelasin, Ma, tapi nggak di sini," ucap Mas Seto yang membuat tubuhku beku seketika.Mas Seto manggil ini ibu-ibu dengan sebutan 'Mama' dan jangan bilang kalau yang berdiri di depan kami sekarang ini adalah ibunya Mas Seto.

"Sayang, kenalin ini Mama aku dan Aria adik aku," ucapnya memperkenalkanku pada kedua wanita yang menatapku dengan tatapan menilai, tapi setelahnya keduanya tersenyum dan memeluk tubuhku.

"Wah ini pasti Mbak Maysa pacarnya Mas, ya?" tanya Aria yang diangguki oleh Mas Seto.

Fix!!! Aku buta tuli dengan keadaan di sini saat ini sampai ibunya Mas Seto kembali menanyakan siapa Arkan sebenarnya dan akhirnya kami diminta untuk datang ke kediaman keluarga Kusumo sekarang juga. Mampus!!! Habis cinta ditolak dan sekarang akan disidang sama keluarga konglongmeratnya Indonesia.

Ya Allah... Beneran tobat, deh, Maysa Farani binti Hardianysah, gak lagi main ena ena sama Mas Seto.

Teman Tapi???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang