Bab 13

301 7 0
                                    

Pagi ini aku bangun lebih dulu dan berhasil lepas dari pelukan hangat Mas Seto. Besyukurlah dia tidak rewel seperti biasa, selalu menginginkanku di pagi hari. Karena jujur saja mood ku masih cukup buruk sejak kejadian semalam. Lebih tepatnya seharian kemarin mood ku buruk dan berlanjut sampai malam. Ku lirik Mas Seto yang masih bergelung di bawah selimut dengan wajah tenangnya saat aku baru keluar dari kamar mandi.

"Sayang," panggilnya halus ketika aku sudah berada di depan lemari untuk mengambil pakaian.

"Iya, Mas," jawabku berusaha selembut mungkin, walau gak bisa selembut softener tapi aku sudah mencoba.

"Kok geli gitu, sih, denger suara kamu di halus-halusin, berasanya kamu lagi kesurupan hantu sinden tahu nggak?"

Aku berbalik menatapnya tajam, dia sudah duduk dengan bersandar di kepala ranjang. Buset dah!!! Aku bicara halus dibilang kesurupan hantu sinden. Ini seriusan aku mau belajar halus kalau ngomong sama dia. Tapi, ya, sudah lah, kalau menurut dia aneh, ya, lebih baik aku bicara seperti biasa saja.

"Mas nggak bisa nemenin pulang ke Kalimantan hari ini, disuruh Papa cek proyek di Surabaya," ucapnya sambil mengucek mata yang selalu bisa bikin aku tersihir itu.

"Ya sudah, nggak masalah. Jadi kapan Mas ke Surabaya?"tanyaku sembari berjalan ke arahnya karena sudah berpakaian lengkap. Kalau belum lengkap mana berani aku dekat-dekat, nanti ditelanjanginya.

"Sore, habis anter kamu ke airport. Jadi nanti Mas ke kantor dulu buat ambil beberapa dokumen," ucapnya lagi sambil menarik tanganku dan membuatku duduk di tepi ranjang.

Cup...

Satu kecupan lembut mendarat di bibirku dan disusul dengan kecupan lembut dan lama di keningku.

Aku merasakan hangat dari perlakuannya ini, sekali lagi aku berharap ini bukanlah mimpi. Kali ini aku merasa kalau Mas Seto benar-benar memiliki perasaam yang sama denganku.

"Maafin Sasa," liriku di tengah pelukan hangatnya.

"Maafin Mas juga, Sayang. Selama ini Mas selalu bikin kamu sedih, marah dan gak percaya sama kata-kata Mas," balasnya membuatku hanya mengangguk dalam pelukannya, karena saat ini kepalaku berada di dada telanjangnya.

Sumpah ini dada Mas Seto hangat banget, apalagi suara detak jantungnya merdu banget di telingaku. Jadi makin betah lama-lama dalam posisi ini, tapi aku gak bisa melanjutkannya. Karena pesawatku siang ini ke Kalimantan dan aku gak mau berakhir dengan ketinggalan pesawat hanya karena menikmati goyangannya Mas Seto. Walau jujur pengen banget sebelum pulang, apalagi aku nggak tahu apa rencana Ayah sebenarnya memintaku pulang segera.

"Sasa pesenin sarapan dulu, ya, Mas," ucapku saat dia sudah melepaskan pelukannya dan hanya mengangguk.

Ku perhatikan pergerakan Mas Seto yang berjalan menuju kamar mandi. Aku jadi semakin kepikiran dengan chat yang dikirimkan Bang Farhan kemarin via Whatsapp. Sebenarnya aku berbohong tentang sakitnya Ayah, karena tidak ingin membuat Mas Seto berpikiran yang tidak-tidak. Dan dia malah mau ikut pulang juga, tapi untung saja dia ada pekerjaan. Jadi aku bisa pulang sendiri dan menghadapi Ayah, walau aku nggak tahu hasilnya akan seperti apa.

Aku hanya memesan bubur ayam Bandung sebagai menu sarapan, melalui applikasi ojek online tentunya. Kalau Mas Seto nggak pernah rewel urusan makanan, paling protesnya, ya, karena makanan pinggir jalan yang nggak sehat menurutnya. Aah dia belum rasain, sih, gimana enaknya jajanan dan makanan kaki lima. Secara dia gak biasa makan di tempat berkaki gitu, dia biasanya makan di resto mewah yang makanannya dengan harga selangit.

Saat aku tengah sibuk di pantry untuk menyiapkan sarapan kami, ku rasakan tubuhku di peluk dari belakang. Aku bisa mencium aroma sabun dan shampo yang khas itu menguar di depan hidungku. Kecupankecupan dingin dari bibirnya menjalar di seluruh leher belakang dan punggungku. Mas Seto luar biasa!!! Makin cinta dan makin mentok, walau sepertinya mungkin hari ini adalah pertemuan kita. Karena firasatku mengatakan Ayah sedang menyiapkan sesuatu di sana.

Teman Tapi???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang