Dimohon pencet tombol ⭐, dan atau meramaikan dengan komentar, aku sangat mengapresiasi respon kalian.
I worth for every single seconds that i spend by writing this chapter alone.
Recommended Songs To Listen While Read This Chapter :
1. Lee Hi - Only
2. Kina Grannis - Can't Help Falling In Love
3. Raisa - Kali Kedua
4. JKT48 - Rapsodi
5. Taylor Swift - Lover (First Dance Remix)
Javier
Pagi ini aku bangun tanpa menyaksikan sesuatu yang membawaku membuka mata dengan napas tersengal-sengal dan keringat dingin bercucuran. Sejak perempuan ini mau mendengarkan apa yang selama ini sulit untuk ku bagi, rasanya jauh lebih lega, bebas dari jeratan rasa bersalah yang terus datang dari masa lalu.
Pagi ini aku baru tahu kalau dia tidak berpindah posisi selama tidur, dia masih melipat lengannya kedalam tanpa berniat melingkarkan lengannya pada pinggangku, sementara lenganku kesemutan tertindih lehernya.
Pagi ini aku juga baru tahu kalau ada pemandangan seteduh ini selain melihat sawah terasering di Ubud sambil diiringi petikan gitar. Jeane sebaiknya tidak usah bermimpi apa-apa, tidur tanpa mimpi artinya tidurmu nyenyak. Meski aku sedikit berharap ada hadirku di alam bawah sadarnya itu. Tapi apa artinya kalau dia akan lupa isi mimpinya beberapa detik setelah dia terbangun nanti.
Aku beranjak pelan sekali, tidak ingin Jeane terganggu dengan gerakanku. Aku menarik gorden untuk menghalangi cahaya masuk, aku enggak mau Jeane dibangunkan dengan cahaya matahari, biarkan dia tidur lebih lama.
Tadi malam aku cuma menutup jendela dengan balkon di depannya pakai vitras, soalnya cahaya lampu gedung-gedung tinggi yang menghadap balkon apartemenku terlalu indah untuk kulewatkan setiap malam, kadang aku menghabiskan satu atau dua batang rokok hanya untuk melamun di balkon.
Kemudian perhatianku teralih dengan jari jemari Jeane. Lalu aku mengesah dan mengeluarkan dua buah plester dari laci nakas. Dengan pelan merekatkannya pada jari jemarinya yang luka. Dalang dari luka itu sendiri sudah bisa kuduga.
Aku mendengkus, enak aja tidur kayak enggak tahu apa-apa sementara aku menahan kesal. Tapi bukan kesal yang kesannya negatif, lebih kepada kesal karena… ah, enggak tahu, pokoknya dia terlalu menggemaskan untuk jadi target rasa kesalku. Enggak jadi deh.
Sembari menaruh roti tawar dalam panggangan roti, aku terkesiap dengan Jeane yang muncul dibalik pintu. Kaos milik Olivia yang kupinjamkan hampir mencapai lututnya-ukurannya kebesaran, untung aja celana trainingnya pas.
“Pagi.” ucapnya sambil malu-malu membuka pintu dan menuju dapur.
“Pagi.” aku tersenyum kecil melihat matanya menyusuri sekeliling apartemen. Jelas banget kalau lagi salah tingkah.
“Jav.”
“Hm ?”
“Mau aku seduhin kopi ?”
“Sure.”
Jeane mengambil frenchpress setelah kutunjukkan tempatnya dan memanaskan air dalam ketel listrik. Dia mengetuk-ngetuk meja dapur. Kemudian teringat belum mengambil bubuk kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
478 (Set Me Free) | Lee Jeno (SEDANG REVISI)
Fanfiction"Ketika Panic Attack kamu datang, latihan teknik bernafas 478, 4 detik kamu hirup nafas dari hidung, tahan nafas itu 7 detik, hembuskan nafas itu dari mulut 8 detik." Tentang Jeane dengan Panic Disordernya dan Javier dengan Toxic Relationshipnya dan...