Bel sudah berbunyi, anak-anak yang sedang menekuni patung parafinnya mendongak menatap gadis berbalut kerudung itu.
"Kenapa pada lihat Ustazah seperti itu?" jahil Nada berpura-pura tak mendengar bel.
Bocah perempuan dengan sepatu kerlap-kerlipnya menunjuk luar. "Bel sudah berbunyi, Ustazah. Apa kami harus terus belajar di sini?"
Nada yang mengulum senyumnya hanya bisa tertawa, lalu kembali ke meja gurunya. "Baiklah, kalau begitu Ais yang pimpin doa, ya?"
Bocah perempuan yang bernama Ais itu mengangguk lalu bersiap di tempatnya. "Semuanya... siap!"
Ais menoleh ke kanan dan kiri, menanti teman-temannya selesai merapikan barang-barang yang berserakan di atas meja. Setelah semua siap Ais pun mengomando lagi. "Angkat kedua tangan di atas, mari kita berdoa!"
Surat Al-asr diserukan serempak oleh murid-murid Nada berikut dengan gadis itu. Ia melirik jam dinding dan tersenyum kecut. Ia tak memiliki waktu untuk kembali ke rumah dan makan siang. Karena ini pertama kalinya ia bekerja di sekolahnya yang dulu, maka ia diwajibkan datang satu jam sebelum ekstrakurikuler berlangsung.
"Aaamiiiin...."
Nada memakai tas selempangnya, lalu berdiri tegap di depan pintu. "Kita berjumpa lagi esok hari, ya? Wassalamu'alaikum," pamit Nada lembut.
"Wa'alaikum salam, Ustazah,"
Seluruh siswa langsung membentuk antrian untuk bersalaman dengan Nada. Gadis itu paling suka saat-saat seperti, ia merasa seperti mempunyai kasih sayang yang melimpah dari murid-muridnya.
Irfan berdiri di barisan terakhir, tertawa kala temannya jatuh saat ia dengan sengaja menyenggol lengan bocah laki-laki yang berperawakan lebih tinggi darinya.
"Irfan," panggil Nada, "tidak boleh seperti itu. Itu sama saja menyakiti orang lain, Nak," beritahu Nada yang langsung dibalas anggukan oleh Irfan.
"Maaf Reno, Maaf juga, Ustazah," jawabnya pendek.
Nada mengusap kepala kedua bocah itu dan tersenyum melihat mereka yang langsung bergandengan tangan kembali. "Lucu sekali mereka,"
Nada merapikan kursi murid-muridnya, lalu mengambil beberapa patung parafin yang bagus lalu diletakkannya di lemari kaca dekat jendela. Ia mengambil patung parafin milik Farah, Ais, Reno, dan juga Irfan. Ketika ia hendak menaruh patung parafin itu, matanya menangkap siluet seseorang. Ia terperanjat kala menatap sosok yang begitu dikenalnya sedang memeluk Irfan sembari berjongkok. Senyum gulalinya terpatri sempurna di wajahnya, tak ada yang berubah dan tetap memesona. Jadi... apakah pria itu sudah...?
Nada hanya diam saja, sembari mengawasi kedua sosok itu hilang di balik mobil silvernya. Hatinya begitu teriris kala seseorang yang selalu ia doakan itu begitu akrab dengan muridnya yang kemungkinan besar adalah anaknya.
"Kak Wafa," lirihnya diiringi setetes buliran air mata yang jatuh di pipinya.
Cinta begitu menyakitkan. Bahkan ia harus melepaskan cintanya tanpa pernah memulai. Apa Allah memang mengutuk keluarganya agar tak pernah bisa merasakan kasih sayang? Naudzubillah... semoga ini hanya pikiran Nada saja.
Setelah menaruh patung parafin milik muridnya, ia pun bergegas ke ruang guru untuk melakukan absen siang. Nada bukanlah orang yang pintar menyimpan sedihnya, seperti saat ini yang tidak bisa menampilkan senyum tulus dari wajahnya.
"Nada... kau baik-baik saja?" tanya Risa salah satu rekannya yang dekat dengannya.
Nada menoleh lalu mengangguk. "Aku baik-baik saja. Mungkin hanya kelelahan, Ris," sahutnya sembari memasukkan mukena kecil ke dalam tasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh dari Surga-Nya
RomanceSeorang gadis berusia dua puluh enam tahun yang tak kunjung menikah. Sudah beberapa kali sang ibu menyodorkan pria yang menurutnya sesuai dengan selera anaknya tapi sayangnya, satu pun tak ada yang diliriknya. Bukan, ia bukan gadis yang menyukai se...