"Selamat sore, Semua. Saya Nada Razani, pengampu untuk seni teater di sini," beritahu Nada membuat beberapa siswa dan siswinya berbisik.
"Kak Nada?"
Nada mengerutkan dahi kala seseorang menyapanya dengan sebutan "kakak". Ia tersenyum lalu menoleh ke arah gadis yang berambut ikal di ujung sebelah kanan.
"Kalian boleh manggil saya kakak," beritahu Nada lagi.
"Bukan," tukas gadis tadi cepat.
Nada tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke gadis ikal yang sedang menelisiknya intens. Tangannya terlipat sempurna di depan dada. "Kak Wafa cerita banyak soal Kakak,"
Nada menggigit bibirnya keras, teriris kala nama itu tersebut lagi di bibir orang lain dan menghubungkannya dengannya. Ia tak mau ambil pusing, toh ia belum tahu apakah Wafa masih lajang atau sudah menikah, kan?
"Kak Wafa itu kakak kelas saya. Dulu saya sempat berada di satu panggung dengan Beliau. Memerankan—
"Roro Jonggrang," seru murid-murid serempak.
Nada tertawa kala melihat kekompakan murid-muridnya ini. "Apakah kalian tahu? Dengan kompak begitu rasanya saya sudah seperti mengajar kalian bertahun-tahun,"
"Memang seperti itu kenyataannya, Kak. Kak Wafa sering kali bilang bahwa ia belajar teater bukan dari guru seni teater tapi belajar dari Kakak yang selalu gigih belajar tanpa kenal lelah,"
Nada terenyuh mendengarnya. Apakah benar Wafa adalah sosok pria seperti itu? Kalau memang ia memang mengaguminya, seharusnya ia tidak diam seperti itu, seharusnya ia tidak memerhatikannya dalam diam, melainkan mendatanginya bersama orang tuanya untuk mengucap ijab.
Yah, itu hanya impian kecil seorang gadis yang mencintai kakak kelasnya secara diam-diam. Dibilang cinlok, bukan. Bahkan ia mengenal secara langsung dengan Wafa bukan dari teater itu. Melainkan dari sebuah insiden kecil yang mengantarkan senyuman malaikat dari bibir tebalnya. Begitu memabukkan.
"Kak Wafa juga janji kalau ia akan menjadikan Kakak sebagai guru kita setelah ia keluar dari sekolah."
Nada mengangguk paham. Murid-murid dengan berbagai tingkat itu bak buku harian berjalan milik Wafa. Menceritakan apa pun yang bersangkutan dengan pria itu dan... dirinya. Nah, yang terakhir ini, ia masih ragu. Selama sekolah dulu, Wafa jarang berbicara dengannya. Jangankan bicara, untuk bertukar salam pun enggan.
"Dan akhirnya kak Wafa memenuhi janjinya, kan?" tanya Nada menutup buku harian berjalan itu diikuti anggukan dari murid-murid.
"Baiklah, Saudaraku tersayang. Karena hari ini awal dari pertemuan kita, saya ingin tahu beberapa hal. Apa kalian berkenan untuk menjawabnya?"
"Iya!" seru mereka lagi.
Nada berdiri, lalu berjalan ke arah jendela, memunggunginya sambil bersandar. "Berapa kali kalian berpentas di panggung?"
"Hmm... mungkin sekitar lima kali, Kak," jawab Khansa, gadis berambut ikal tadi.
"Ok, itu angka yang cukup fantastis mengingat kalian setiap tahunnya menginjak kelas yang lebih tinggi. Tapi, apakah kalian pernah merasakan arti dari sebuah teater yang kalian perankan? Mungkin tidak dari segi cerita, tapi dari kehidupan kalian yang nyata," tutur Nada bertanya kembali.
Murid-murid terdiam, lambat laun kepala mereka menggeleng, mengindikasi bahwa mereka tidak dapat menemukan jawabannya.
Nada tersenyum, lalu berjalan pelan ke arah Khansa, menyentuh bahu gadis itu pelan. "Sebuah interaksi. Sebuah Teater menuntut kalian yang tidak pernah saling kenal atau mungkin kenal tapi tidak dekat untuk menciptakan keharmonisan yang bisa mengguncang emosi penonton," jelas Nada mendayu-dayu.
"Butuh bukti? Banyak! Contoh kecilnya adalah seni teater yang kalian suguhkan terakhir kali. Beberapa tokoh utama yang sama sekali berbeda karakter berusaha untuk mendalami karakter yang akan ia lakoni. Yang mungkin kau dan kau, tidak saling menyukai tapi di atas panggung kalian bisa menunjukkan bahwa karakter yang kalian buat menguras emosi," tambah Nada menunjuk Khansa dan Fero—pemuda yang duduk di seberangnya sambil kembali ke mejanya.
"Kak!" Gadis lain di meja depan mengacungkan tangan, ingin bertanya.
"Iya?"
"Apa kebencian nyata dari masing-masing pemain mempengaruhi emosi yang tercipta di sebuah teater?" tanyanya penasaran.
Nada mengerutkan dahinya sebentar. "Tidak! Kalau sampai itu terjadi, enyahlah kalian dari hadapan saya!" kelakar Nada sok kejam membuat beberapa anak tertawa.
"Begini, Sayang. kalau menurut saya, kebencian itu sebenarnya adalah tanda cinta yang tertutupi. Buat apa kalian benci kalau kalian ingin tahu apa pun yang dilakukan orang yang kalian benci? Sebuah kebencian itu sangat tidak penting! Bukankah Tuhan melarang kalian untuk saling mengasingkan diri?"
Murid-murid mengangguk lagi, kali ini setuju dengan ucapan Nada.
Dari respon awal satu jam pertama murid ekstrakurikuler seni teater itu terhadap metode pengajaran Nada membuat seseorang dari balik pintu tersenyum, lalu diam-diam ia pergi meninggalkan kehangatan gadis itu dengan hati lega.
***
Nada mengalungkan tas selempangnya ke lengan sembari berjalan gontai ke ruang guru. Ia mengecek ponselnya, mengerang frustasi kala ibunya memberitahu bahwa seorang pria yang akan dijodohkan dengannya sudah menunggu di luar sekolah.
Gadis itu memasuki ruang guru ringan. Lelah terlihat jelas di wajahnya. Esti yang belum selesi dengan pekerjaannya pun menyempatkan diri untuk menyapanya.
"Anak-anak bandel, ya?"
Nada tersenyum, lalu meneguk air mineral yang diangsurkan Esti. "Tidak. Mereka begitu hangat dan menyenangkan,"
Esti tertular senyum Nada lalu berkata, "Alhamdulillah. Kupikir kau begitu tersiksa dengan pekerjaanmu ini," syukur Esti sembari mengelus dadanya.
"Hahaha. Buat apa tersiksa, hmm? Bahkan berkumpul dengan orang lain membuatku melupakan beban yang kupikul." Tanpa pancingan tiba-tiba Nada berkeluh kesah.
Esti mengelus bahu Nada pelan, menguatkan temannya. Walau ia jarang sekali bertemu dengan Nada, tapi ia sering mendengar desas-desus bahwa gadis yang sedang ia peluk ini selalu direcoki oleh ibunya soal jodoh.
Tapi, tapi, tapi... kalau melihat paras Nada yang manis, tubuh yang proposional dengan tingginya, dan juga kegigihannya ia masih tak percaya bahwa tidak ada pria yang menyukainya. Cih, bahkan saat sekolah dulu, ia masih ingat bahwa Nada menjadi rebutan para pemuda. Jadi, kalau seperti ini, apa yang membuat seorang Nada Razani selalu ingin sendiri? Ia pikir Nada bukanlah orang yang suka menuntut pasangan yang neko-neko. Dan bahkan temannya itu tipe gadis yang penurut dan suka mengalah. Ia jadi penasaran kalau begini.
"Eh... Nad, mau ke mana?" tanya Esti yang bingung melihat Nada sudah bersiap untuk pergi.
"Ada seseorang yang dikirim Mama di bawah. Aku harus menemuinya sebelum Mama terus-terusan menerorku di ponsel," beritahu Nada sembari memasukkan sisa air mineralnya ke dalam tas.
Esti memandang iba gadis itu, lalu tersenyum menguatkan. "Kalau kau tak suka, bilanglah tak suka. Beritahu ibumu ada seseorang yang telah singgah di hatimu," saran Esti lembut.
Nada terkekeh geli lalu menggeleng. "Dan bahkan aku tak tahu pria yang ada di hatiku masih lajang atau sudah beranak. Sudah ah... aku pergi, ya? Lusa kita ketemu lagi," pamit Nada sembari memeluk Esti kilat.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikum salam, hati-hati, Nad!" jawab Esti sembari memandang iba sosok itu menghilang di balik pintu. Yah, ia tahu cerita cinta konyol Wafa dan Nada. Dan ia pikir, masing-masing dari mereka memiliki gengsi yang sama-sama tinggi. Misal Wafa sudah beranak, sepertinya bukan masalah untuk membuka pertemuan pertama.
TBC
A/N :
Assalamu'alaikum...
alhamdulillah aku bisa nyempetin posting bab 3
Beneran ngga bisa bagi waktu akhir-akhir ini.
Semoga semua sehat dan bahagia.
Ditunggu silaturahminya, Wassalamu'alaikum
Nurul Putri Wibowo
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh dari Surga-Nya
RomanceSeorang gadis berusia dua puluh enam tahun yang tak kunjung menikah. Sudah beberapa kali sang ibu menyodorkan pria yang menurutnya sesuai dengan selera anaknya tapi sayangnya, satu pun tak ada yang diliriknya. Bukan, ia bukan gadis yang menyukai se...