"Rani... ini diminum dulu teh hangatnya." Zia memberikan secangkir teh manis pada Rani agar wanita dengan kerudung abu-abunya itu bisa mendapatkan kehangatan sekaligus energi, mengingat ia belum makan dari pagi.
"Rani...," bujuk Zia halus, mengelus lembut pipi sahabatnya itu.
"Anakku, Zi. Bukan masalah jika seandainya dia baik-baik saja. Aku akan tetap merestui hubungannya dengan Wafa apabila dia tidak terluka. Tapi...." Setetes air mata kembali mengaliri pipi Rani, membuat Zia mendesah frustasi.
Sudah nyaris tiga jam Rani bersikap seperti ini. Hanya bisa menangis sembari duduk tak berdaya. Tentu Zia tak akan menyalahkan Rani, karena ia tahu posisi sulit sahabatnya. Zia terdiam sebentar, mungkin kalau dirinya yang berada di posisi Rani, ia tak yakin akan bisa setegar Rani. Mungkin memang Rani terlihat rapuh dengan air matanya yang terus-terusan mengalir, tapi sepuluh tahun mengalami luka yang besar dan mampu bertahan hingga saat ini bukanlah sesuatu yang mudah.
"Assalamu'alaikum," Suara beberapa orang beruluk salam terdengar, membuat Rani mau pun Zia tersentak dan langsung berdiri melihat Nada, Wafa, dan Ridho sudah berdiri di depan pintu.
"Wa'alaikumsalam,"
"Ma...." Gadis dengan alis tebalnya dengan ujung yang runcing itu segera berlutut saat melihat kekacauan di wajah ibunya. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihat ibumu sendiri menangis karenamu. Dan Nada benar-benar merasa durhaka karenanya.
"Ma, maafin Nada, Ma. Maafin Nada karena menyakiti Mama lagi," pintanya terisak, seperti bocah sepuluh tahun yang berbuat nakal.
Mata Rani nanar kembali, sejujurnya melihat Nada yang bisa kembali dengan keadaan baik seperti ini pun sudah membuatnya lega, walau sakit di hatinya masih belum menghilang.
Rani mengembuskan napas pelan, lalu tersenyum tipis sembari mengangkat tubuh anaknya agar kembali berdiri. Senyum sama sekali tak terlepas dari wajah pucat yang sudah mulai menua itu. Tangan lentik yang sudah mulai keriput itu pun menyentuh pipi anaknya sembari menghapus air mata yang meleleh di pipi Nada
"Melihatmu baik-baik saja membuat Mama lega, Nak. Maafkan Mama dan Papa yang telah egois dan membuatmu terluka untuk kedua kalinya," katanya halus.
"Ma...." Nada menghambur ke pelukan ibunya, membuat Rani dengan spontan mengelus pelan punggungnya.
"Apa yang Papamu katakan padamu? Ia tidak menyakitimu, bukan?" tanya Rani mengalihkan fokus.
Nada menggeleng pelan, lalu kembali mengeratkan pelukannya. "Papa hanya bilang ingin meminta maaf pada Mama dan Nada," beritahunya pelan.
"Dan kau memaafkannya?"
"Ma!" Nada merajuk di pelukan Rani membuat wanita itu tertawa pelan.
"Kau tahu, Nak? Ada kalanya kita memang harus merasa jatuh dan terjerembap di lembah paling dalam. Mengalami luka yang begitu besar yang tentunya akan meninggalkan bekas. Bukan bagaimana ia menyakitimu, bukan bagaimana ia menorehkan luka itu, tapi kau harus melihat setulus apa ia meminta maaf padamu," Rani memberitahu Nada dengan air mata yang masih mengalir deras di pipi, membuat Zia sedih melihatnya.
"Mama memaafkan Papa?"Rani tersenyum kecut.
"Untuk memaafkan sepenuhnya Mama belum bisa. Tapi Mama akan berusaha, Nak. Ini semua takdir Allah. Semua orang yang pernah hadir di hidup kita tentunya mempunyai porsinya masing-masing untuk mengajari sesuatu. Mungkin, Allah menghendaki papamu untuk menggoreskan luka agar kita tetap sabar dan tawakal,"
"Ma...."
Diam-diam Wafa yang melihat komunikasi ibu dan anak itu merasa hatinya seperti teriris belati. Bahkan ia sudah menyakiti kedua orang sekaligus karena status pamannya yang ternyata adalah ayah dari gadis yang sangat ia cintai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh dari Surga-Nya
RomansaSeorang gadis berusia dua puluh enam tahun yang tak kunjung menikah. Sudah beberapa kali sang ibu menyodorkan pria yang menurutnya sesuai dengan selera anaknya tapi sayangnya, satu pun tak ada yang diliriknya. Bukan, ia bukan gadis yang menyukai se...