Limabelas

12K 617 34
                                    

"Baiklah! Saya sudah mempelajari dengan baik naskah yang kalian berikan. Cerita rakyat yang dimodifikasi dengan sentuhan jenaka. Kreatif," komentar Nada sembari berjalan ke sana ke mari.

"Tapi," Nada duduk di samping Wafa sembari merengut, "Kita kekurangan pemain. Klenting merah, klenting ijo, klenting biru, klenting kuning, burung bangau, yuyu kangkang, Panji Asmarabangun, para pengawal, nyai Intan, mbok Randa, dan semua kru seharusnya lebih dari dua puluh orang," jelas Nada, membuka naskah kembali.

"Kak Nada sama kak Wafa yang jadi Panji Asmarabangun sama Dewi Sekartaji saja," timpal Khansa, memberi usul.

Nada melebarkan mata syok, lalu menggeleng cepat. "Kalian gila? Kami ini sudah tidak pantas lagi bermain teater. Tidak, tidak!" tolak Nada cepat.

Wafa yang mendengar respon dari Nada diam-diam tertawa. Sudah ia duga bahwa gadis itu akan merespon seperti itu.

"Kak Wafa kan sudah janji kalau Kakak sama kak Wafa ikut dalam pementasan," Fero menagih janji Wafa beberapa waktu lalu.

Nada langsung melirik tajam ke arah Wafa yang sudah meringis tanpa dosa. Ia juga tak segan-segan memelototi pria itu kala Wafa tak membantunya mendebat murid-muridnya.

"Ya sudah kali, Nad. Sebuah janji itu harus ditepati," jawab Wafa santai sembari menyelonjorkan kakinya dan tersenyum.

"Kau yang menjanjikannya, bukan aku!" tuding Nada geram.

Wafa mendengus lalu membenarkan posisi duduknya dan kembali mengeluarkan senyum gula jawanya. "Apa bedanya? Aku memang berjanji. Tapi, bukankah aku juga harus mempertanggungjawabkannya? Dan ini bentuk tanggung jawabku, membujukmu untuk menyetujui usul mereka," jelas Wafa santai seolah sama sekali tak pernah berbuat kesalahan.

"Benar, Kak!" timpal Bagus—siswa lain yang duduk di samping Fero.

"Ish... kalian ini!" geram Nada sembari menggosok tengkuknya keras-keras, frustasi.

Dan di detik selanjutnya, Nada mendengar tawa keras dari Wafa dan juga para murid yang seolah senang karenanya.

"Aku benar-benar dijebak kali ini," lanjutnya lagi sembari berjalan keluar.

"Hei... mau ke mana?"

"Mau cuci muka! Aku bisa gila kalau lama-lama berdekatan denganmu," jawab Nada tak acuh.

"Seharusnya kau harus siap menjadi gila. Bukankah sebentar lagi kau akan menjadi istriku?" goda Wafa masih dengan senyum yang dikulum.

"Aku tidak mendengar!" Suara Nada mulai menghilang di tikungan, membuat seluruh siswa tertawa kembali.

***

"Masih marah?" tanya Wafa sembari membelokkan kemudinya ke arah simpang lima.

"Hmmm,"

Wafa melirik gadis itu dari sudut matanya lalu menggeleng pelan. Benar-benar seperti bocah lima tahun yang meminta sesuatu tetapi tak dipenuhi.

"Aku bisa menjajarkanmu dengan Irfan kalau kau seperti itu terus," komentar Wafa, mengejek.

Nada mendengus, sembari membuang pandangan ke luar mobil. Gerimis sudah membasahi kota Lunpia itu dan sepertinya akan menjadi deras kalau dilihat mendungnya sore ini.

"Kau seperti kilat-kilat itu, kalau kau ingin tahu," komentar Wafa lagi, masih berusaha untuk membuat Nada membuka mulutnya.

"Dan kau yang membuatnya!" omel Nada, akhirnya.

Wafa mendesah lega sembari tersenyum ringan. Jenis senyum yang membuat siapa pun akan jatuh terjerambap dalam pesonanya. "Akhirnya kau mau berbicara juga," ucap Wafa pelan.

Jodoh dari Surga-NyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang