Pria dengan kemeja putihnya memasuki rumah sembari melipat lengannya dan juga menyampirkan jasnya ke tangan. Ia tersenyum kala seorang bocah laki-laki berlari ke arahnya untuk menyambut. Tanpa aba-aba bocah manis itu menggandeng tangan pria itu dan membimbingnya menuju ke ruang makan.
"Ayah... apa Ayah capek?"
Wafa—pria itu mengacak pelan rambut bocah empat tahun yang sudah dengan manis duduk di pangkuannya.
"Tentu saja,"
Irfan merengut lalu turun dari pangkuan Wafa mencari kursi lain. "Baiklah, Ayah lebih baik istirahat saja, Irfan akan main di kamar saja."
Wafa terkekeh keras lalu menghentikan langkah anaknya dan mencium kening sang anak sayang. "Secapek-capeknya Ayah juga akan tetap mau main sama Irfan kok,"
"Beneran?"
Wafa mengerjapkan mata sekali dan mengangguk. "Tentu saja,"
"Hore! Kalau begitu Ayah mandi dulu, ya? Nanti kita makan dulu baru main," beritahu bocah manis itu sembari berlari pergi menuju kamarnya.
"Lelah, Nak?"
Wafa menoleh lalu tersenyum kala Listi—bibinya menyapa sembari menata sup ke meja makan.
"Lumayan, Bi. Hmm... aku mandi dulu, ya? Nanti kita sambung lagi, Bi," beritahu Wafa sembari mengecup pipi sang bibi dan berlalu dari hadapan wanita berusia lima puluhan akhir itu.
Sang wanita paruh baya itu tersenyum lembut, begitu bangga melihat keponakannya yang tubuh besar dan dewasa setelah kematian orang tuanya lima belas tahun silam. Sering kali ia miris melihat cucu semata wayangnya harus bermain hanya bersama Wafa saja, mengingat kakak kandung Wafa meninggal karena kecelakaan.
"Yah... semoga Allah selalu melindungi di setiap langkah kalian, Nak," doanya dengan setitik air mata yang menetes dari mata tuanya.
Di tempat lain, Wafa melepas kancing kemejanya pelan sembari membuang pandangannya ke luar jendela. Matahari sudah bersembunyi di ufuk barat, tertutupi oleh awan senja yang begitu memabukkan. Ia menghela napas keras, begitu lelah hingga rasanya hari ini adalah hari terpanjang yang pernah ia lalui. Kakinya melangkah mendekati nakas yang ada di samping kasurnya, lalu mengambil sebuah pigura satu-satunya yang ia letakkan dekat dengan kasur. Gambar dirinya dan keluarga kecil lengkap milik kakaknya untuk terakhir kali.
"Kak Fahmi, bagaimana kabarmu hari ini? Apakah kak Najwa bahagia melihat Irfan yang selalu tersenyum? Semoga kalian selalu merestui segala hal yang kulakukan untuk Irfan," ceritanya sembari mengelus gambar pria dengan koko putihnya yang sedang tersenyum bahagia sembari memeluk istrinya yang mengenakan gamis putih senada.
"Aku merindukan kalian, Kak. Sangat," lanjut Wafa tak terasa dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Memorinya kembali ke dua tahun silam, kala itu ia dan kakaknya sengaja bermain ke Yogyakarta. Ia sempat mengunjungi candi Prambanan yang terletak di tujuh belas kilometer timur laut Yogyakarta yang dulunya konon untuk dipersembahkan pada Trimurti (Tga kekuatan Brahman).
Sekilas candi ini begitu menarik perhatian dengan bangunan-bangunannya yang begitu artistik dan indah. Tapi saat mata Wafa menatap bangunan candi yang kokoh itu alih-alih memuji sang candi, pria itu dengan suara lirihnya berkata, "Roro Jonggrangku,"
Sontak kakak laki-lakinya yang berdiri tak jauh darinya menoleh dan terkesiap mendengar dua kata yang keluar dari mulut adiknya. Ia terkekeh ringan mengerti yang dimaksud sang adik. "Rindu, ya?"
Wafa mengerjapkan mata lalu menoleh ke kakaknya dan mengangguk. "Hmm. Aku sempat berpikir untuk menyerah saja, Kak. Sepertinya gadis itu bukan takdirku," beritahunya sembari tersenyum kecut membuat Fahmi menepuk pelan bahu sang adik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh dari Surga-Nya
RomanceSeorang gadis berusia dua puluh enam tahun yang tak kunjung menikah. Sudah beberapa kali sang ibu menyodorkan pria yang menurutnya sesuai dengan selera anaknya tapi sayangnya, satu pun tak ada yang diliriknya. Bukan, ia bukan gadis yang menyukai se...