Epilog.

385 67 1
                                    

"Mungkin ada seseorang yang berada di sekitar kita yang tengah mengalami depresi, atau sedang berjuang untuk sejumlah alasan yang rumit"

"Tolong lihat lah mereka dengan tulus, tunjukan pada mereka jika semua yang akan baik² saja"

"-jika memungkinkan kalian bisa menanyakan pada mereka, kesulitan apa yang mereka dapatkan di hari itu."

"Jangan paksa mereka bercerita, jangan juga membandingkan cerita nya dengan cerita mu"

"Orang² seperti mereka hanya butuh tempat untuk berkeluh kesah, mengungkapkan emosi dan segala isi pikiran nya"

Handaru memandang seluruh isi ruangan yang kini sibuk memotret nya serta merekam nya. Lalu, pandangan nya jatuh pada ke empat kursi kosong yang berada di depan nya.

Haru tersenyum getir, "Untuk keluarga, Teman, rekan kerja, ataupun tetangga nya sekalipun. Tolong coba pamahi mereka, seperti mereka mencoba menerima kata cacian dari orang² di luar sana"

Kedua mata Haru tak lepas dari empat kursi di depan nya, jelas sekali terpancar kesedihan di dalam nya. Bahkan jika Haru berkedip sekali maka akan runtuh pertahanan nya.

"Kata-kata hangat kalian mungkin bisa menyelamatkan mereka dari kematian mereka sendiri."

Haru tidak berbohong. Kata-kata yang di ucapkan Mahen saat pertama kali bertemu membuat nya berhasil bertahan sejauh ini.

"kalau di antara kalian ada yang membutuhkan bantuan dari orang lain, jangan sungkan untuk sekedar mengatakan nya"

"Tidak perlu malu untuk mengakui nya, Kita hanya manusia. Yang pasti nya akan tetap merasakan berada di titik terendah kehidupan"

"Jangan menyerah. Akhir yang indah tidak di awali dengan kematian."

Prok!

Prok!

Prok!

Tepuk tangan meriah Haru dapatkan, lampu flash menyala di mana-mana. Sorak demi sorak pun bersahutan. Sebagian orang memotret nya, dan sebagian lagi memvideo dan merekam setiap ucapan nya.

Handaru berdehem pelan, mengalihan perhatian seluruh orang ke depan. Tak ada suara lagi, mereka benar-benar diam menunggu apa lagi yang akan di katakan Pemuda di depan tersebut.

"Apakah ada yang ingin wartawan tanyakan sebelum mengakhiri meet and great perilisan buku tentang Kita?"

Lantas, pertanyaan itu di sambut baik dengan banyak nya wartawan yang ingin bertanya lebih. Ruangan yang berisi 500 orang lebih itu kembali berisik.

Hampir sebagian wartawan mengangkat tangan nya untuk bertanya. Dan dengan sabar nya Haru menanggapi setiap pertanyaan yang mereka ajukan.

"Dari rumor yang tersebar, kabar nya buku ini terispirasi dari kehidupan nyata, apakah rumor itu benar?" Tanya salah satu wartawan, pertanyaan tersebut membuat hening tercipta di antara semua nya. Seolah memberi kepastian jawaban yang selalu di tunggu.

Haru tersenyum tipis lalu mengangguk pasti "Iya. Tentang kita adalah buku yang mengangkat kehidupan asli."

Wartawan tersebut mengangguk, mencatat informasi yang di ucapkan, kemudian kembali mengeluarkan pertanyaan nya, "Lalu di mana kah sosok Mahen, Segara, Dewa, serta Jendra?"

"Mereka sudah bahagia.." Jawab Haru dengan cepat,

Suasana ruangan kembali ramai dengan riuh pertanyaan dan opini tentang kata bahagia yang Haru ucapkan.

"Lalu sekarang di mana mereka tinggal?" Pertanyaan itu di ucapkan dengan lugas oleh wartawan ber logo ikan terbang.

Haru mengulas senyum kelu nya, "Mereka sudah bersama lagi di atas sana. Di surga."

Seketika seluruh ruangan menjadi hening, merespon dengan tak percaya apa yang baru saja Haru ucapkan.

Karena di dalam buku yang Pemuda itu terbitkan; sosok Mahen,  Segara, Jendra, dan Dewa menjalani kehidupan yang layak setelah berbagai perjuangan yang mereka lalui. Mereka kira, keindahan ending di dalam buku tersebut adalah hal yang nyata juga. Tapi ternyata realita nya memang tak se indah itu.

"Meskipun mereka sudah tiada, aku masih merasakan kehadiran mereka di sini. Duduk di empat kursi depan yang saya kosongi. Menatap kesuksesan saya sekarang." Lanjut Haru, kedua mata nya mulai ber air, tetapi senyuman di bibir nya tak kunjung hilang jua. Lirikan mata nya juga tak mampu lepas dari empat kursi di depan. Jelas sekali, di dalam pancaran nya ada setumpuk rindu yang ingin segera di tuntaskan.

Setelah beberapa menit hening, ada salah satu fans nya mengangkat tangan "Jika kisah ini kisah nyata. Maka anda pernah merasakan pembullyan itu?"

"Ya.."

"Lalu bagaimana cara anda untuk tetap bertahan sampai sekarang? Sedangkan yang lain nya sudah tiada?" Pertanyaan itu kembali terlontar dari orang yang berbeda.

Haru terkekeh menanggapi, "Karena aku menyadari suatu hal yang selama ini aku  anggap biasa saja"

"Apa itu?"

"Mencintai diri sendiri", ucap Haru, dia menarik nafas nya pelan sebelum melanjutkan perkataan nya,  "Mencintai diri sendiri itu tidak perlu uang, tetapi sangat jarang untuk di realisasikan. Padahal, kita hanya perlu menghargai setiap usaha kita sendiri.."

"Kita hanya perlu untuk membiasakan diri agar tidak mengikuti kemauan orang lain. Hidup kita ya hanya milik kita. Selagi semua nya tidak melanggar apapun, kita boleh melakukan apapun yang kita mau."

"Lalu ekspresikan juga emosi mu, jangan di pendam semua nya. Karena hal itu akan menyebabkan rasa tak nyaman di dalam hidup. Jika ingin nangis, ya nangis. Gak perlu di pendam, itu bukan penyakit menular.

"Jangan lupa juga untuk selalu berterima kasih pada diri sendiri karena berhasil melewati satu hari yang tak jarang begitu melelahkan dan membosankan." pungkas Haru

💮💮💮💮


Haru menghela nafas nya setelah membereskan barang-barang nya. Ia mengangkat kepala nya lagi, memandang ruangan yang tadi nya begitu ramai kini sudah berganti menjadi sepi. Acara meet and great nya sudah selesai. Semua nya berjalan dengan lancar.

Omset penjualan buku nya juga semakin tinggi. Membuat Haru lagi-lagi bersyukur atas semua nya.

Tetapi jika boleh jujur, rasa nya hidup nya ada yang kurang. Ia tak sebahagia itu.

Setelah kematian Mahen serta Jendra,  saat itu; Segara, Dewa serta Diri nya berjuang keras untuk meraih mimpi masing-masing dan berjanji untuk memberi keadilan untuk Mahen. Saat itu Haru masih memiliki arti kebahagiaan itu, sebab ia masih memiliki teman yang sama-sama berjuang.

Tetapi, kali ini ia sudah sendiri. Benar-benar tidak ada yang bisa ia ajak bicara selain tulisan pada sastra nya.

Ia merindukan semua nya.

Orang tua nya juga entah di mana, Haru memilih keluar dari rumah besar yang penuh kesepian itu dan membeli rumah sederhana dari uang tabungan nya.

Ia benar benar memulai semua nya sendiri.

Helaan nafas kembali terdengar, ia menoleh, menatap lurus pada tumpukan buku yang terletak di samping nya.

Tumpukan buku yang ia ketik menjadi rentetan kisah kelam antara persahabatan yang di putuskan oleh kematian.

"Jika kematian yang memisahkan persahabatan kita, maka biarkan aku menuliskan tentang pertemuan kita yang di awali sebuah masalah" gumam Haru kemudian melangkah meninggalkan ruangan dengan senyum yang tak pernah memudar.

Kalopsia |Treasure ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang