DEUX

459 63 10
                                    

Aidan

Aku baru saja kembali ke apartment-ku sesaat setelah mengantar Rayya tadi. Namun seseorang telah datang dan duduk di ruang TV sambil tersenyum ke arahku.

Aku hanya menatapnya lalu berjalan ke arah dapur untuk mengambil segelas air minum.

"Aidan?" Panggilnya.

"mau ngobrol tentang hal yang nggak penting lagi? Aidan nggak punya banyak waktu buat dengerin mama." Jawabku.

"Aidan?" Panggilnya lagi.

"Mama masih mau maksa Aidan buat tinggal sama mama? jawaban Aidan masih sama. Aidan lebih seneng tinggal sendiri dan urus diri Aidan sendiri. Jadi mama nggak perlu maksa Aidan untuk tinggal sama mama." Ucapku.

"Kalo urusan mama udah selesai, silahkan." Tambahku membukakan pintu Apartment-ku.

Mama menatapku, "Aidan, mama cuma mau ketemu anak mama aja." Ucapnya.

Aku tak meresponnya, hanya menundukan kepala.

"Okay, Aidan yang pergi." Ucapku meninggalkan mama yang masih duduk di ruang TV Apartment-ku

***

Aku tak benci Mama. Namun tak terlalu menyukainya juga. Hubungan kami memang tak terlalu baik, bahkan tak pernah baik. Sejak lahir, aku hanya merasa puas akan segala hal yang ku dapatkan. Mainan, sekolah yang bagus, buku-buku, les tambahan, fasilitas lengkap dan segala hal yang orang lain pikir itu adalah sebuah kebahagian. Namun, yang orang lain rasa aku sangat bahagia kala itu ternyata berbanding terbalik dengan apa yang aku rasakan.

Aku tumbuh dengan kesendirian dan dewasa dengan keadaan. Papaku jarang pulang karena sering ditugaskan di luar kota sedangkan Mama sibuk bekerja. Semua berjalan lancar awalnya, hingga saat usiaku 13 tahun.

Mamaku sering sekali pulang malam dan diantar oleh om Rama, yang pada saat itu berstatus atasan Mama. Aku merasa aneh karena setiap kali Papa menelfon, Mama selalu berkata lelah karena menyetir seharian, padahal jelas-jelas Mama tak membawa mobil hari itu dan diantar pulang oleh Om Rama.

Itu berlangsung cukup lama, sampai pada akhirnya Papa memutuskan untuk melepas Mama dan pergi meninggalkanku saat aku menginjak bangku SMA. Aku tetap hidup dengan Mama karena janjiku pada Papa dimana aku harus tetap menjaga Mama karena aku adalah anak laki-laki satu-satunya.

Aku menepatinya, tetap menjaga Mama walau aku tak terlalu menyukainya. Mungkin sikap acuhku pada wanita terbentuk karena rasa kesalku pada Mama dan hanya bisa luluh dengan genggaman tangan seorang wanita yang menatapku dengan tatapan polosnya, menolongku saat dikejar dua preman saat itu.

Wanita itu kali ini sedang menatap kesal ke arahku, sambil membawa kotak p3k-nya.

"Katanya berdarah-darah?! Kenapa sih hobinya bikin panik orang!" Omelnya.

Aku hanya diam lalu memberinya helm.

"Gue ngantuk." Ucapnya lalu berlalu meninggalkanku.

Aku memasukan motorku ke dalam garasi kost-annya yang dibarengi dengan tatapan sinis dari Rayya.

"Lo tidur aja. Gue nggak akan ganggu lo, Rayya." Ucapku.

Aku berjalan menuju ruang tamu kost-annya dan duduk di sofa tamu.

"Awas aja nelfonin gue!" Ucapnya sambil berlalu menuju kamar kost-nya yang berada di lantai 3.

Beautifull FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang