14 | Sofia The First

120 38 14
                                    

═════════•°•⚠️•°•═════════

Renjun masih dengan wajah penuh kantuknya. Suara alarm ponsel membangunkannya pukul tujuh. Ia lupa ketika keluar dari kamar dan menuruni tangga, jika ia sekarang sudah berada di tempat baru. Maka dengan kaos putih besarnya serta celana training hitam panjang ia terdiam di tengah-tengah tangga. Rambut berantakan dan wajah bingung terpatri jelas di sana. Hidungnya mencium bau masakan, dan suara piring yang tertata di meja. Ia sedikit melongok, melihat siapa yang sudah berkutat di dapur. Namun, wajah asing yang ia dapati.

"Bukan y/n? Apa pembantunya? Waduh." Renjun meringis. Ia tak tahu harus mulai membuka obrolan seperti apa. Rasanya ia seperti Sofia saja yang jadi putri dalam semalam.

"Oh, Tuan Renjun sudah bangun? Baru saja akan saya bangunkan. Mari sarapan, saya sudah siapkan semuanya."

Renjun tersentak karena sapaan tiba-tiba yang tak ia sadari. Ia menggigit bagian dalam pipinya, nampak ragu. Tapi wajah dengan ekspresi lembut yang tersenyum ramah membuat Renjun lagi-lagi merasa lebih tenang. Ia mengangguk kaku. Namun ia kembali terhenti ketika menyaksikan berbagai menu di hadapannya.

"Tante, ini masakan hotel, ya?"

Wanita yang dipanggilnya 'Tante' terkekeh. "Saya memang dulunya koki hotel berbintang. Ini masakan lokal, saya harap lidah Anda suka."

Oh, mana mungkin Renjun tak suka masakan hotel berbintang?! Ia pernah sekali mencoba dan rasanya pun tak bisa diragukan. Meski tergolong mahal untuk makanan rumahan biasa seperti nasi goreng atau mi, Renjun jelas mengerti bagaimana perbedaan para koki itu dari yang lain.

Di hadapannya kini ada nasi goreng, sate, kerupuk udang, dan beberapa makanan pendamping lainnya. Masakan biasa itu di tata sedemikian cantik. Nampak berkelas untuk makanan sederhana. Tapi Renjun yakin rasanya tidak sesederhana namanya.

"Ini... makanan kesukaan saya, Tante. Wah, gak bisa! Saya harus cuci muka dulu!"

Renjun sesegera mungkin mengacir pergi untuk ke kamar mandi. Membasuh mukanya hanya dengan air dan mengelap ke bajunya. Ia dengan senyuman lebar kembali ke meja makan dan duduk dengan sumringah di hadapan makanan untuk sarapannya pagi ini yang mempunyai porsi lebih.

"Tante, udah makan?" tanyanya sebelum mengambil nasi. Wanita itu mengangguk anggun dengan senyum tipisnya.

"Saya sudah, Tuan. Lalu mungkin Anda bisa panggil saya 'Bibi' saja."

Renjun membulatkan mulutnya. Tangannya sibuk mengambil sepiring nasi goreng dan lauknya. "Kalau gitu, Tante juga bisa panggil saya Renjun aja. Jangan pakai 'Tuan', gimana? Saya gak biasa diagung-agungkan gitu, paling jauh cuma dipanggil 'kakak'."

"Jika Anda tidak masalah, Tu—Renjun."

Senyum Renjun melebar, ia mengangguk puas. "Kalau gitu, makanannya boleh saya habisin?"

"Saya akan sangat senang kalau begitu. Selamat menikmati. Saya permisi." Ada bungkukan sopan yang Renjun terima sebelum bibi pergi. Agaknya Renjun sungguhan menjadi Sofia.

"Wah, gila. Kalau gini terus gue bisa gendut," ungkapnya nampak masa bodoh. Karena mulutnya telah sibuk mengunyah dengan senyum senang terpatri.


















"Saya senang, Nona. Masakan saya diterima dengan baik di perutnya."

Kekehan dari seberang telepon terdengar. Perempuan yang lebih muda itu mengangguk-angguk senang. "Selamat Bi, tolong urus Renjun dengan baik selama saya nggak ada, ya?"

"Tentu, Nona. Dengan senang hati."

"Ah, lalu jangan lupa selalu perhatikan sekitar. Saya mau Renjun nggak terganggu sama apapun yang buat dia nggak nyaman atau bahaya."

"Baik, Nona. Saya mengerti."

"Oh! Lalu, tolong suruh Renjun siap-siap sebelum jam sepuluh. Nanti dia saya jemput buat ke sekolah."

"...ada lagi yang perlu Nona sampaikan?"

Kekehan kembali terdengar. "Enggak, udah. Makasih Bi. Saya tutup."

Bibi mengangguk sembari menjawab dengan sopan. Telepon ia masukkan kembali pada saku celana kerjanya. Ia masih menampilkan senyuman yang sama. Mengekspresikan rasa gembiranya pada suatu hal.

"Oh, Bi? y/n mana, ya? Saya lupa tadi mau tanya."

Renjun datang selepas mencuci semua piring kotornya. Perutnya jelas kenyang sempurna sekarang. Tapi mana peduli. Siapa suruh masakannya membuat Renjun ingin tambah lagi dan lagi?

"Ah, Nona sedang menyiapkan acara sekolah. Nanti pukul sepuluh Nona akan ke sini untuk menjemput Anda."

Renjun menepuk dahinya. Lupa sekali. Ia sungguhan lupa. Padahal setelah ini ia ingin melanjutkan tidurnya. Ah, efek sarapan terlalu berlebihan jelek sekali rupanya. Tapi ia berakhir mengangguk, lantas cemberut karena tak lagi bisa melanjutkan tidur itu digantikan dengan senyuman lebar dan acungan dua jempolnya sebatas dada.

"Masakan Bibi enak banget! Kualitasnya sama persis kayak masakan hotel berkelas. Kalau gini kan, saya jadi beneran kayak putri."

"Pangeran, Renjun. Putri untuk perempuan."

"Ah, sama ajalah, Bi! Saya ingetnya Sofia soalnya. Sofia The First! Hehe," cengirnya. Mengundang gelengan pelan pasrah dari sang bibi yang tersenyum layaknya ibu yang mendengar guyonan sang anak.

Tak Renjun sangka, ia yang tadinya bingung ingin menyapa malah berakhir sok kenal dan sok dekat. Tapi beruntung, karena bibi yang ia takutkan untuk berkomunikasi nyatanya tak seburuk itu. Justru, beliau menerima segala ocehan Renjun dengan baik dan penuh tatapan lembut yang terasa penuh pengertian.

"Bibi, kita boleh bicara informal aja gak? Saya mau tambah deket ke Bibi, boleh?"

Meski terkejut, bibi tersenyum dan menyetujui. Dengan itu, keduanya jadi berbagi banyak cerita. Kebanyakan diisi oleh Renjun dan keingintahuannya perihal masa lalu bibi sebagai koki hotel berbintang.

Yang diberi pertanyaan menjawab dengan santai, tak merasa terganggu ataupun lelah. Karena sorot mata polos penuh binar itu sungguh menyihirnya untuk menurut dan rela menghabiskan waktu hanya untuk bercerita perihal kehidupannya sebelum ini.

═════════•°•⚠️•°•═════════

Saturday, 4 June 2022

(+) yg tadi kepencet, huhu. tapi gpp, sekalian aja dua chapter untuk bayar kehilanganku belakangan ini!

psst, aku lagi minggu2 uas btw 😔 kalian yg lagi ujian juga, semangat ya! ❤

Aram Temaram - Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang