19 | Ia Tak Terlihat Hari Ini

83 26 2
                                    

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

Renjun tak melihat di manapun. Ketua OSIS itu seolah juga menghindar darinya. Oh, ya, Renjun memang telah bersiap untuk bersembunyi dari setiap jarak pandang perempuan itu. Tapi itu tak berguna sepertinya. Sebab yang ia ingin hindari saja sudah menghindar lebih dulu. Sekiranya itu yang dipikirkan Renjun.

Namun, fakta sebenarnya tak segera ia dapat. Hingga esok haripun, ketika seharusnya Renjun mendapati sosok sang teladan di sekolah itu berujung kosong. Tak ada kepangan rapi dan senyum yang hanya menyapanya.

Hari sekolahnya menjadi seperti semula. Tak ada yang istimewa dan selalu monoton. Haechan, teman dekat satu-satunya, pun tak ada. Renjun benar-benar sendirian hari ini. Rasanya sepi sekali. Ia... sudah lama tak merasa sekosong ini.

Renjun tak suka.

Ketika bel pulang berbunyi, ia sudah dijemput. Renjun pulang dan masuk ke kamarnya dengan lesu. Entah mengapa, rasanya benar-benar berbeda. Ia tak nyaman. Ini berimbas pula pada nafsu makannya yang kurang. Bibi yang bertugas memasak di sana ikut merasakan perbedaan dari Renjun. Anak yang telah berhasil dekat dengannya itu ia tanyai.

"Renjun, kamu boleh jujur kalau kurang suka sama masakan hari ini. Nggak perlu takut."

Sang empu nama tersentak, segera menggeleng tergesa dan tersenyum sungkan. "Bukan, Bi. Aku selalu suka masakan Bibi, selalu tahu apa yang aku mau. Tapi, hari ini aku cuma... ngerasa beda aja." Renjun menunduk, kembali mengaduk sisa nasi di atas piringnya. Bibi bergerak untuk duduk di sisi kanan Renjun dan mengusap bahunya.

"Beda kenapa?" tanyanya lembut, penuh perhatian. Senyum simpul ikut terpatri seiring wajah Renjun yang perlahan mendongak, menatapnya.

Renjun mendengkus, ia melepaskan jarinya dari sendok dan lebih memilih untuk membelitkan kedua telapaknya untuk meredam keraguannya. "Gak tahu, Bi. Aku juga bingung. Hari ini, aku berasa sendirian. Dari bangun sampai pulang sekolah. Aku gak bisa semangat kayak biasanya."

"Kamu punya kebiasaan yang nggak kamu lakuin hari ini?"

"Kebiasaan?"

Bibi mengangguk. "Atau mungkin, kamu kehilangan sesuatu? Seseorang, tepatnya?"

Renjun tak bisa langsung menjawab, ia menimang, apakah yang ia pikirkan ini tepat? Kebiasaannya dan seseorang yang menyebabkan kebiasaannya itu ada. Senyum dan usakan di atas kepala. Bagaimana bia Renjun merindukan itu?

Jari-jemarinya berhenti untuk saling membelit. Perasaan ragu itu semakin menggebu. Ia tak percaya, tapi biru hatinya berkata lain. Ia memandang sang juru masak dengan sorot mata ingin tahu.

"Tapi gimana bisa, Bi?"

"Bisa aja, Renjun." Bibi mengusap lembut kepala Renjun, wanita itu memperlakukan Renjun seperti anaknya sendiri. Lalu ia melanjutkan, "Kamu mungkin udah anggap dia sebagai orang yang istimewa di hati kamu."

"Istimewa kayak gimana?"

Ada raut polos yang begitu ingin tahu, dengan nada anak kecil yang terdengar mudah sekali untuk ditipu. Tapi Bibi tak mungkin tega melakukan itu. Ia terkekeh. Menepuk pelan puncak kepala itu dan meluruhkan tangan kirinya ke atas bahu. "Banyak hal. Ada banyak hal yang istimewa di dunia ini, Renjun. Kayak bumbu dapur yang biasa aja di mata kamu, bisa jadi istimewa di mata Bibi. Begitu juga sebaliknya. Rasanya, kalau Bibi nggak masak sehari aja dan gelut sama banyak bumbu dapur, hari Bibi nggak akan lengkap. Seenggaknya, Bibi harus bisa masak satu kali setiap harinya supaya hati Bibi senang.

"Kalau Renjun, emangnya apa yang buat kamu anggap dia istimewa? Apa... yang biasanya kamu lakuin bareng dia?"

Pertanyaan itu sudah terjawab dalam benaknya secara reflek. Tapi Renjun enggan mengungkapnya. Helaan napas berat menjadi pengganti jawaban yang seharusnya dia berikan pada Bibi. Tapi mungkin Bibi mengerti, bagaimana posisi Renjun yang tak mau membocorkan rahasia hati kecilnya pada seseorang. Lantas, Bibi pun tersenyum lembut dan sekali lagi membuat beban dalam otak Renjun meluruh hanya dengan sebuah tepukan pelan.

"Kamu nggak perlu cerita ke Bibi kalau nggak mau. Tapi kalau Bibi boleh kasih saran, kamu harus lebih jujur sama hati kamu sendiri, ya? Nggak perlu ragu. Kadang, nggak ada salahnya untuk coba terima rasa yang asing, kan?"

Bibi berdiri dari duduknya. Ia hendak mengerjakan urusannya yang lain. "Besok sarapan ala Eropa. Kamu keberatan makan sama roti?" tanyanya sebelum benar-benar pergi setelah mendapatkan persetujuan dari Renjun yang tetap saja terlihat seperti orang yang bingung.

"Nggak perlu dipikir Renjun, santai aja. Perasaan kamu itu wajar kok."

Kalimat Bibi yang terlontar untuk terakhir kalinya itu membuat Renjun menghela napas. Tentu saja Renjun tak bisa santai. Bagaimana bisa Renjun santai ketika orang istimewanya itu memandangnya dengan sorot mata penuh cinta?!

Renjun tak bisa! Renjun... belum... siap.



















"Daerah rumah aman, Nona. Anda bisa tidur nyenyak."

Ada kekehan dari seberang. Bibi mengerutkan dahinya. Ia tahu, Nonanya pasti sedang melakukan sesuatu.

"Ya... bagus sih. Cuma saya nggak akan tidur malam ini."

Ada suara gemerasak di sana, sang juru masak yang merangkap menjadi ketua penjaga di rumah yang Renjun tinggali itu semakin mengerutkan dahinya. Ia menajamkan pendengarannya. Ada suara hujan dan genangan air yang terpijak, diikuti suara seretan benda berat setelahnya.

"Nona?" ia memanggil.

Sekali lagi suara gemerasak, sebelum tawa kecil majikannya terdengar.

"Tuan Besar sudah mati. Saya harus balas dendam."

Sebelum panggilan mati, ada suara teriakan memekak beserta patahnya sesuatu dari sambungan. Tapi ia pula sudah mengerti, apa yang tengah terjadi pada belahan bumi yang lain itu. Suara tawa yang kembali terdengar itu seratus persen pasti akan membuat semua orang yang mendengar merinding. Tawa itu tak keras, tak pula akan memekakkan telinga yang mendengar. Namun, dari sana banyak sekali perasaan yang tercipta.

Senang

Sedih

Marah

Kecewa

Angkuh, dan pula

Derita.

Ah, rasa-rasanya keadaan orang-orang di tempat itu tak baik.

"Bibi, jangan biarin Renjun cari saya, karena saya nggak akan pulang untuk beberapa hari. Saya percayain dia ke Bibi."

"Baik, Nona. Saya selalu sedia."

"Bagus. Terima kasih, Bi."

Selesai. Panggilan ditutup dan Bibi mengembuskan napasnya yang terasa begitu berat untuk ia lepaskan. Nona mudanya itu mungkin petarung yang hebat, tapi tetap saja, sebagai seseorang yang pernah mengasuhnya ketika kecil, situasi ini begitu sukar untuk diterima.

Bagaimana pun, ia tetap saja khawatir.

"Tolong cepat kembali, Nona. Karena bukan hanya saya yang menunggu."

═════════•°•⚠️•°•═════════

Tuesday, 5 July 2022

p.s. kalo aku nanti lama update, brrti lagi berusaha selesaiin cerita ini ya. ^^

Aram Temaram - Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang