3 | Latihan

221 55 4
                                    

include: kata-kata kasar.

═════════•°•⚠️•°•═════════

Alunan melodi beriringan dengan suara merdunya Renjun terus terdengar beberapa kali. Di studio musik yang sekolahnya punya, ia melatih vokalnya dan mulai menyusun sebuah aransemen ulang agar lebih istimewa terdengar untuk telinga orang-orang besok. Bersama dengan seorang guru musiknya yang memang selalu membantu Renjun untuk menyiapkan pentasnya.

"Lebih lembut lagi, Ren," suruh Taeyong sembari menikmati setiap bait lagu yang Renjun nyanyikan. Senyum puasnya terpatri ketika nada sempurna seperti yang telinganya ekspektasikan terdengar indah keluar dari bilah bibir Renjun. Taeyong membuka matanya dan menepuk tangan bangga. "Bagus. Besok kita coba rekam ya. Tapi, si Haechan mana? Dia jadi duet bareng kamu kan?"

Renjun mengusap tengkuknya, "Ya... jadi sih, Pak. Cuma gak tahu, saya hubungin juga gak ada tanda-tanda mau dibales."

Taeyong menghela napasnya. Latihan sudah usai, tapi si Lee Haechan itu masih belum datang dan mengabari. Terakhir kali, Renjun melihat sosoknya itu ketika jam istirahat pertama. Tapi mana mungkin juga Renjun selalu fokus pada Haechan. Ada pelajaran yang harus dia perhatikan juga. Hingga waktu pulang sekolah tiba, waktunya mereka latihan. Tapi satu jam berlalu, Haechan tetap tak datang.

"Kalau gitu, besok aja lagi ya, Ren. Bapak harus pulang, mau ketemu anak."

Ada kekehan pelan dari Taeyong yang mengundang tawa pelan pula dari Renjun. "Iya, Pak. Makasih untuk latihannya. Hati-hati di jalan, salam buat keluarganya." Perhatian dari Renjun dibalas senyuman lebar Taeyong dan tepukan pelannya di atas kepala.

"Kamu juga hati-hati pulangnya. Bapak duluan ya."

"Iya, Pak."

Sepeninggal Taeyong, Renjun kembali mengembuskan napasnya lelah. Jengah sekali melihat Haechan tak kunjung membalas pesannya. Setidaknya angkat telepon jika memang lelaki itu tidak bisa mengetik sebuah balasan. Apa lagi-lagi anak itu ada urusan yang nggak bisa ditunda layaknya biasa?

Urusan apa sih? batin Renjun ingin tahu.

Namun, belum saja Renjun keluar dari ruang musik, Haechan datang dengan buru-buru. Wajah berkeringatnya dan tatapan nembulat itu jadi saksi bahwa lelaki itu memang sudah terlambat. Ditambah helaan napas Renjun dan tatapan lelaki itu yang berubah tajam. Seolah hendak memberikan sanksi atas janji Haechan yang diingkari. Padahal, baru pagi tadi dia bersumpah.

"Gue bisa jelasin, Ren!" sentak Haechan sembari mundur pelan ke belakang seiring tubuh Renjun yang maju ke arahnya dengan murka.

"Lo bahkan gak ngabarin gue, Chan. Mana ponsel lo?!"

"Di- aduh, di mana ya?" Haechan dengan gugup mencari keberadaan benda pipih panjang berwarna hitamnya, tapi nihil. Ponselnya tidak ada di saku manapun seragamnya punya. Haechan menyengir sebelum menggaruk hidungnya yang gatal. Menatap Renjun dengan tatapan bodoh yang sumpah demi buih di laut Renjun kesal setengah mampus!

"LO GOBLOK BANGET ANJING KESEL GUE!"

Haechan dengan matanya yang tertutup otomatis, kembali ikhlas akan suara tinggi Renjun yang rasanya sudah lama telah menghancurkan gendang telinganya. Tapi ya, bukan salah Renjun juga jika Haechan sendiri yang membuat telinganya terancam tuli.

Renjun di depannya masih menggebu akan amarah, lalu Haechan memberanikan diri untuk mengintip. Membuka matanya perlahan dan wajah dengan ekspresi marah yang berpaling darinya menjadi objek. Haechan meringis, ia jadi tidak enak. Tengkuknya ia usap, mencoba mengatakan alasan yang jadi masalahnya untuk terlambat hari ini.

"Tadi... keluarga gue ada yang meninggal Ren. Jadi gue harus pulang ke rumah. Gue cuma bilang ketua kelas aja selaku yang ngurusin absen. Gue... minta maaf."

Haechan melihat perubahan ekspresi Renjun yang drastis di depan sana. Sejujurnya, Haechan tidak mau mengatakan hal itu. Tapi ya apa boleh buat, ia juga tak mau Renjunnya salah paham dan menganggap jika dirinya hanya main-main akan janjinya pagi tadi. Dia serius ingin membantu Renjun tampil dan latihan hari ini. Tapi bagaimana jika keadaannya tidak membuatnya mungkin?

"Jadi... lo balik ke sini setelah acara pemakaman?"

Haechan menggeleng. "Gue takut buat lo nunggu lama. Tapi ternyata udah, ya?" Ia tersenyum getir. Renjun kini mana mampu marah. Justru sekarang ia menyesal telah mengumpati temannya itu dengan sumpah serapah yang kurang apik.

Renjun menggaruk pelipisnya dan menjawab lirih. "Enggak, gapapa Chan. Maaf udah marahin lo tanpa tahu alasan yang sebenernya. Lo langsung pulang aja, gapapa, tungguin keluarga lo."

"Enggak. Gue anter lo aja dulu. Gapapa, gak usah ngerasa bersalah gitu. Besok kita latihan, ya? Kali ini gue gak janji deh, tapi bakal gue usahain buat dateng tepat waktu ya."

Renjun hanya mengangguk. Ia menghela napasnya. Rasa sesal hadir, belas kasihnya tertuju pada sang teman yang kini berjalan lebih dulu untuk ke tempat di mana motor miliknya terparkir. Haechan hanya membawa raga, tas punggungnya tak nampak. Mungkin tertinggal di rumah sang keluarga. Tapi helm milik Renjun tak pernah lupa dibawa. Helm putih yang kontras dengan yang dipakai Haechan itu selalu bertengger manis di jok belakang.

Lagi-lagi Renjun iba. Tapi ia bersyukur, ada Haechan yang masih selalu setia padanya meski dikala Haechan sendiri susah sekalipun. Lelaki itu entah kenapa seolah tahu jika hidup Renjun tak sepenuhnya baik layaknya ketenaran yang Renjun dapatkan di sekolah. Disela Haechan yang membelah jalanan dengan santai, Renjun tersenyum. Dia mengetuk pelan helm hitam di depannya. Membuat sang empu menoleh lewat kaca spion dengan penuh tanda tanya.

"Makasih udah ngertiin gue Chan. Besok, mau dibawain sarapan apa?"

Haechan tertawa. Kebiasaan Renjun jika merasa bersalah memang unik. Selama seharian penuh esok hari, bisa dipastikan, bahwa Haechan akan dimanja habis-habisan oleh Renjun sebagai bentuk permintaan maaf tulusnya untuk Haechan.

"Nasi goreng ayam."

Renjun tersenyum lebih lebar. Dia mengacungkan jempolnya ke depan. Membawa tawa keduanya mengudara mengikuti laju motor Haechan membelah jalanan sore hari ini.

Kadang, Renjun berandai. Jika Haechan adalah saudara kandungnya, bagaimana nasib keluarga mereka ya? Sepertinya memang akan jauh lebih baik. Sebab Renjun tak sendirian tinggal di dalam rumah yang penuh akan dentingan kaca dan debuman keras setiap malamnya.

═════════•°•⚠️•°•═════════

Saturday, 23 April 2022

(+) udh ketauan mainstream-nya? 👀 tunggu ya, chapter depan kayaknya ada kejutan sedikit.

Aram Temaram - Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang