7 | Hari Ketiga Mereka

198 51 1
                                    

═════════•°•⚠️•°•═════════

Malam ini mereka kembali membuat janji. Bertemu setelah Renjun melakukan latihan lanjutan yang kali ini pula dilengkapi dengan kedatangan Haechan. Lelaki itu sepertinya masih bisa beradaptasi dengan baik meski sebelumnya ada kabar jika salah satu anggota keluarganya meninggal. Entah sekuat apa Haechan menutupi laranya, tapi yang Renjun lihat, Haechan tetaplah Haechan seperti biasa. Penuh aura komedi dan tawa lebarnya. Lalu latihan berjalan lancar, seperti yang Renjun duga, suara Haechan tak kalah merdunya daripada miliknya. Jika begini, bisa-bisa banyak penggemarnya yang berlain hati, haha! Tapi tak masalah. Toh, Renjun masih punya banyak sisanya, berbagi sedikit tak akan membuatnya minim atensi.

Omong-omong perihal jalannya ia dengan si ketua yang pula berpenampilan berbeda dari biasanya, jujur saja membuat Renjun takjub. Ia serius ketika mengatakan bahwa perempuan itu memang begitu cantik. Mungkin sama seperti binarnya bulan di atas sana. Bersinar lembut dengan para teman bintangnya.

Tapi kenapa seolah ia menginginkan atensi Renjun? Segala perkataannya dua hari terakhir selalu dikabulkan. Entah perihal senyum dan rambut. Lalu sekarang apa lagi? Apakah jika ia mengatakan sesuatu kembali tentang keinginan atau kesukaannya, perempuan itu akan kembali mengabulkan?

"Ren, kita makan dulu, ya? Lo belum makan, kan?"

Ada senyuman manis yang sama di sana. Ajakan itu Renjun terima dengan anggukan dan senyuman pasrahnya. Tangan hampir saja tergandeng, namun Renjun menghindar dengan berjalan lebih dulu. Menunjuk salah satu restoran di dekatnya dan meninggalkan si ketua itu berdiri dengan ekspresi canggungnya.



"Chicken paprika sama ice tea dua."

Makanan telah selesai di pesan. Hanya ada minuman yang telah lebih dulu terhidangkan. Keduanya menunggu sembari berbincang kembali masalah Renjun dan lagu yang akan ia tampilkan.

"Oh, lagu itu? Gue udah sering denger juga."

Renjun tampak antusias. "Oh, ya?" Ada binar gembira di matanya. Perempuan dengan rambut lurusnya yang tergerai terkekeh. Mengambil gelas tehnya dan menyedot sedikit. Sekedar membuat lega tenggorokannya yang kering.

"Gue biasanya dengerin setiap malem."

"Ih, gue juga gitu. Kayak, meskipun malem-malem pun masih cocok dibuat lagu pengantar tidur!" Itu adalah opini Renjun. Sedangkan si perempuan kembali tertawa pelan.

"Lo kayaknya suka banget sama lagunya. Kenapa?"

Renjun bersandar di kursinya. "Ya karena enak aja sih. Gue sering banget dengerin banyak lagu kalau malem sebenernya." Tatapan intens dari arah depannya tak Renjun sadari. Lelaki itu fokus mengamati ukiran di dinding restoran dan merabanya pelan. Menikmati teksturnya dalam diam dengan angannya yang tercipta.

"Tapi gue mau berhenti."

Alis seseorang di depannya itu menyatu. "Dari apa?" tanyanya.

Renjun berhasil terkunci dalam bola mata hazel dari seseorang di hadapannya. Senyum tipisnya mengembang, ekspresi itu nampak sedih dan muak akan sesuatu yang masih belum sanggup perempuan itu pahami. Lantas Renjun menjawab,

"Dari musik dengan volume keras yang penuhin telinga gue. Tapi kalau gue kecilin, gue malah bakal fokus ke suara yang lain. Makanya gue pengen berhenti sebelum gendang telinga gue pecah. Atau mungkin udah pecah?" Tawa renyahnya tak mampu membuat sosok di hadapannya ikut melebarkan bibirnya dan tersenyum. Bersuara untuk membalas ucapan Renjun saja enggan. Tapi beruntung makanan mereka datang, jadi ia tak perlu susah payah menanggapi.

Mungkin ia bisa sedikit membantu. Tapi dengan apa?

"Makasih ya, y/n. Dengan lo ajak gue keluar begini, jadi bisa seenggaknya kurangin waktu gue siksa telinga. Beruntung deh, gue ada projek bareng lo seminggu ini."

"Jadi lo mau gue ajak keluar setiap hari?"

Renjun tersedak ludahnya sendiri. Ia menatap tak santai perempuan di depannya yang minim ekspresi. Kembali seperti sosoknya waktu di sekolah. Renjun menutup mulutnya yang terbatuk beberapa kali sebelum sanggup menjawab dengan senyum canggungnya.

"Enggak juga sih, tapi ya kalau gak ada projek di acara lo kayaknya gue gak bakal kenal lo terus keluar bareng begini, deh?" Ia terdengar tak yakin. Tapi Renjun harap si ketua itu mampu mengerti maksudnya. Lantas desahan lega terdengar begitu sosok di depannya mengangguk tanda paham. Tak salah Renjun sempat memuji setiap prestasi yang ketua OSISnya ini punya.

"Lo nggak mau pindah?"

"Apa?" Renjun bingung akan pertanyaan yang menurutnya tanpa konteks itu. Tapi dengan santai, perempuan itu menjelaskan kembali dengan sibuknya memotong daging ayam di atas hotplate-nya.

"Katanya lo selalu denger suara lain setiap malem. Kalau gitu keluar aja dari rumah."

Renjun tergelak. Ia tak berpikir perempuan itu mengerti akan maksudnya, tapi sorot mata serius itu ketika mendongak menatapnya membuat Renjun berpikir ulang.

"Gue ada rumah kosong. Kalau lo mau, tinggalin aja."

Apa mungkin perempuan itu paham situasinya?

═════════•°•⚠️•°•═════════

Wednesday, 27 April 2022

Aram Temaram - Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang