24 | Kabar

78 25 0
                                    

include: kata-kata kasar and another warning that perhaps makes you uncomfortable.

═════════•°•⚠️•°•═════════

"Orang itu nyerang? Kenapa?" Jeno menerima pernyataan Bomin yang berusaha menjelaskan situasi yang ada ketika Jeno pergi ke Surabaya.

Bomin mengangguk. "Karena Bos Besar udah meninggal, Jeno. Kita semua tahu, seberapa susahnya kak Yuta tahan adeknya itu untuk tetep sabar dan gak bunuh si mantan anak buah Bos. Tapi pengkhianatan itu berusaha kak Yuta redam dengan kita tetep fokus sama bisnis dan pekerjaan kita masing-masing. Karena itu juga, kita kekurangan anggota. Kita udah pernah pecah jadi dua kubu, jadi gue harap kali ini, kita bisa satuin kekuatan dan lawan balik si pengkhianat itu. Dengan anggota kita yang udah lebih dari seratus, ditambah para ketua wilayah yang berhasil lo rekrut, kita pasti bisa menang!"

Pikiran Jeno bukan ke arah sana. Ini bukan soal menang atau kalah. Tapi bagaimana caranya Jeno bisa menahan pergerakan tergesa-gesa dari sang adik ketuanya itu. Salah-salah, rencananya akan berantakan. Namun, sebelum itu, Jeno memutuskan hal yang lebih penting.

"Kita harus beri penghormatan terakhir. Beliau di Jepang, kan?"

Jeno berdiri dari duduknya. Hanya ada dia dan Bomin dalam satu ruangan kecil. Ia sudah bersiap untuk membeli tiket, tapi Bomin menghela napasnya dan menggeleng.

"Kak Yuta larang kita."

"Apa? Kenapa?" Alis Jeno menukik dalam. Tak terima dengan alasan apapun Yuta akan melarang mereka untuk datang. Bos Besar mereka mati, lalu pantaskah jika Jeno tak memberikan penghormatan terakhir meskipun jasadnya telah dikebumikan?

Bomin lagi-lagi menghela napasnya. "Kak Yuta suruh kita fokus sama perang nanti. Ditambah, adeknya yang udah gerak duluan. Kita... disuruh jagain adeknya. Jangan sampai kelewat batas." Bomin ikut berdiri. Memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. "Yah, meskipun gue juga gak yakin gimana caranya."

Bomin saja tahu, lalu apa yang Yuta harapkan jika kakaknya sendiri angkat tangan? Tak ada.

"Kita bisa kunjungin selesai perang, sekalian tunjukin kalau kita bisa menang dan balas dendam ke Bos. Apapun caranya, kita harus menang, Jeno."

Tangan Jeno mengepal. Ya, bagaimana pun, mereka harus menang. Dia... harus menang dan bawa kembali apa yang direbut.

















Tapi bagaimana, jika perang yang seharusnya terjadi satu bulan lagi malah dipercepat oleh sang lawan?

"Halo, Jeno? Lihat siapa yang keduluan?"

Jeno mengerang dalam tawa mengejek di seberang telepon. Foto. Ia dikirimi sebuah foto dari seorang lelaki yang tertidur pulas dalam tanah cokelat dalam suatu tempat. Bersamaan dengan para penjaga yang mengelilingi tubuh itu.

Jeno melebarkan pupilnya. Ia berteriak khawatir dalam hatinya. Tidak, ini sungguh gawat. Haechan... Haechan pasti akan membunuhnya!

"Bajingan tengik."

Sambungan terputus begitu umpatan itu terlontar. Puas. Seseorang di seberang itu puas sekali. Jeno sekarang pasti ketar-ketir, karena kunci kemenangan telah sanggup seseorang itu pegang.

Lantas, Jeno dengan segera menghubungi sang kawan. Mengabari berita buruk yang seharusnya tak pernah mereka tterima

"Haechan, Renjun diculik."

Tak perlu Haechan cari tahu siapa sang penculik, ia dengan yakin tahu itu ulah siapa. Jika begini, mereka harus segera maju untuk berperang!

[]

Aram Temaram - Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang