36 | Kawan Lama [ Bomin vs Jangjun ]

74 17 0
                                    

include: kata-kata kasar and violence.

═════════•°•⚠️•°•═════════

"Jangjun, lo pikir, lo bisa menang?"

Sang empu nama terkekeh. Pertanyaan Bomin konyol sekali. Sebelah mata Jangjun tertutup, menghindari keringatnya untuk masuk. "Menurut lo... gue selemah apa, Bomin? Lo cuma terlalu bangga sama hasil yang lo capai selama ini. Lo gak pernah mikir, ya? Kalau... bisa aja gue ngalah supaya lo bisa bersinar?"

"Gak usah ngada-ngada! Lo gak sebaik itu, Jangjun!"

Jangjun kembali terkekeh, bahunya terangkat tanda masa bodohnya akan entah Bomin percaya atau tidak dengan pernyataannya. "Gue tahu lo pernah denger percakapan gue sama pelatih. Tentang, kenapa gue gak mencalonkan diri ikut turnamen." Mereka bersitatap. Dari ekspresi Bomin, Jangjun juga sudah tahu, jika kawannya itu masih ingat.

Jangjun tak lagi dalam posisi siap bertarung. Ia berdiri santai, lalu melanjutkan, "Lo anggap gue apa, Bomin?" dengan nada bicaranya yang halus dan tak mengancam. Jangjun murni hanya ingin bertanya. Namun, sepertinya pertanyaan mudah itu tak bisa Bomin jawab dengan segera. Jangjun mendengkus, senyumnya nampak berbeda. Kecewanya terpatri di sana, Jangjun menghela napasnya.

"Lo butuh waktu lama, ya? Padahal kalau gue... bisa langsung jawab tanpa mikir."

Bomin megeraskan rahangnya, merasa bahwa Jangjun hanya berusaha membuang-buang waktu. Mengalah? Dia pikir Bomin akan berterima kasih jika itu benar?!

"Jangjun, berhenti ngoceh dan kalahin gue kalo emang lo sanggup. Soal masa lalu itu udah gak penting. Lo musuh gue sekarang."

Tawa Jangjun terdengar seolah ia baru saja mendengarkan sebuah lelucon menyenangkan. Pelatihnya benar. Bomin... orang yang hebat.
























"Jangjun, kamu gak mau ikut turnamen?"

Jangjun tertawa pelan. Ia menghela napasnya, lantas menjawab tanpa minat. "Buat apa? Kan, ada Bomin? Biarin aja dia yang bawa kemenangan buat sasana tinju ini."

"Tapi kamu punya potensi—"

"Iya, aku tahu Pelatih. Aku punya potensi, tapi aku gak bisa."

Pelatihnya mengembuskan napas, merasa percakapan mereka akan berakhir sia-sia, lagi. Jangjun sudah menyerah. Meskipun sebenarnya itu sangat disayangkan. Pelatih menepuk pundak kiri Jangjun, kembali mengucapkan sepatah dua patah. Namun, Jangjun tak memperhatikan. Ia fokus melirik kaki dibalik tembok yang melangkah menjauh.

Ada Bomin yang sempat menguping tanpa sengaja. Jangjun menyeringai, meski tak lama, sebab geplakan di kepalanya membuatnya mengaduh dan menatap pelatihnya penuh nelangsa.

"Belajar yang giat makanya! Bomin masuk ke sini setelah kamu, tapi kamunya malah kalah langkah dari dia. Contoh si Bomin, Jangjun. Gak malu ya, kalah sama sahabat sendiri?!"

Jangjun mendecih sebal. "Ya siapa yang mau kalah dari cowok sok ganteng itu! Tapi kenyataannya kan, dia emang lebih mampu dari aku..."

Plak!

Sekali lagi geplakan diterima. Jangjun berteriak kesal. Tapi pelatihnya menghela napas lelah. Lelaki berumur itu bersedekap dada, menatap Jangjun penuh iba yang mengejek harga diri.

"Bomin emang lebih hebat dari kamu. Kamu tahu itu?"

"PELATIH?!"

"Udah! Ayo belajar lagi, dan siap-siap ikut turnamen tahun depan. Itupun kalau kamu sanggup."

Aram Temaram - Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang