4 | Beberapa Kenyataan

209 51 19
                                    

═════════•°•⚠️•°•═════════

"Gimana Renjun?"

Haechan menjawab malas. "Aman." Dia melepas helmnya dan masuk ke sebuah gudang tua bekas pabrik yang kini telah diasingkan oleh orang-orang. Di dalan sana ada beberapa orang dan sebuah tungku besi yang masih panas. Haechan menatap nanar tumpukan abu yang ada di dalamnya. Bersamaan dengan gemeretak giginya, sebuah tangan merangkul bahunya, menepuk pelan lengan kiri Haechan agar tak lagi menaruh amarah.

"Gue mau balas dendam."

"Jangan Chan," ucap seseorang itu. "Kita nggak ada perintah untuk itu. Jangan bikin ricuh."

Haechan menghempaskan tangan yang merangkul bahunya, menatap garang sang empu yang juga telah melarangnya. "Tapi mereka yang bikin ricuh duluan! Lo pikir gue terima temen gue mati di tangan orang-orang mereka?!"

Hanya deruan napas Haechan yang terdengar memburu. Lelaki itu gelap akan amarah. Hatinya sakit ketika mendengar kabar jika salah satu teman yang telah ia anggap keluarga sendiri itu pergi untuk selamanya. Beberapa lelaki di sana berusaha mendekat, namun seseorang itu menahan dengan lebih dulu mendekatkan dirinya pada Haechan yang masih menatapnya sangsi.

"Kita semua emang nggak bisa terima kematian Jaemin, Chan. Tapi gue harap lo nggak bertindak gegabah. Tanpa perintah Ketua, kita nggak bisa macem-macem."

"Terus lo suruh gue nunggu aja gak ngapa-ngapain kayak orang bodoh?!"

"Masih ada cara, Chan." Tatapan tenang itu tetap ada. Haechan diam mendengarkan. "Lo tahu kita sekarang lagi kekurangan anak. Karena itu kita harus cari anggota baru, supaya bisa bantu kita balas dendam ke kelompok mereka. Kita perlu orang-orang kuat, dan gue tahu siapa mereka."

Semua yang ada di sana menatap ingin tahu, siapa gerangan yang akan menjadi anggota baru mereka? Lantas seseorang itu memandang sendu abu di dalam tungku yang telah mati. Dia merapalkan doa sebentar, sebelum dengan aura dominannya memandang satu persatu anggotanya dengan tegas.

"Tugas kalian sama. Cari banyak anak yang kompeten dan berguna. Gue mau, dalam sebulan ini, udah ada seratus orang lebih yang gabung. Termasuk orang-orang yang gue punya. Ngerti, kalian semua?!" teriakan menggema itu disahuti ramai oleh beberapa puluh anggota yang ada. Senyum tipisnya terpatri, ia menatap Haechan yang memandangnya dalam diam. Nampak senang. Bahwa bukan hanya menawarkan solusi yang lebih baik, seseorang itu pula juga telah membuatnya lebih tenang.

"Gue bakal bantu lo, Jeno."

Sang empu nama memeluk Haechan, memberikan tepukan penguat di punggung. Mengatakan dengan pasti bahwa semua akan baik-baik saja jika mereka tetap bersama dan saling percaya satu sama lain. Bagimanapun, mereka semua bukan hanya kelompok. Melainkan keluarga yang memang harus saling setia.

[]

"Udah pulang kamu?"

Renjun mengangguk. "Iya, Ma."

"Nggak ada niat nginep di rumah temen?"

Renjun menggeleng. "Enggak, Ma."

"Ya udah, tidur. Nggak usah begadang buat belajar lagi."

Renjun kali ini tak menjawab. Ia hanya melenggang pergi dan masuk ke kamarnya. Meninggalkan sang ibu dengan beberapa lelaki setengah telanjang di sampingnya. Ia memejamkan matanya ketika pintu kamarnya resmi tertutup. Dengan lunglai ia berjalan ke arah ranjang dan merebahkan dirinya yang lelah bukan main. Tidak, bukan lelah fisik. Tapi batin.

Siapa yang tak mau tidur lebih awal jika memang tak ada lagi yang harus dikerjakan di malam harinya? Renjun mau seperti itu. Tapi sayang kamarnya tak kedap suara. Maka dentingan kaca sebab botol alkohol yang beradu dan debuman tembok sering kali ia dengar dari luar kamarnya. Tempat di mana sang ibu bergumul dengan para lelaki sewaan yang selalu ia datangkan setiap malam.

Hari-hari Renjun tak pernah sama sejak sang ayah pergi dari rumah. Meninggalkan sang ibu yang gila hormon dan kadang tak waras. Namun jangan sangka sang ayah lebih baik. Keduanya tak bisa dipilih. Sebab ayah Renjun pula, juga gemar dengan para lelaki seperti ibunya.

Helaan kembali mengudara. Renjun capek. Tapi suara-suara yang sama setiap malam terdengar lagi. Percuma pula ia protes. Tak akan didengar. Malah akan menambah pusing Renjun yang akan melihat para lelaki itu telanjang di luar sana. Ugh, Renjun muak, terus terang saja.

Hidup bersama ayah atau ibunya tak akan jauh berbeda. Semuanya sama. Renjun benci untuk menerima itu. Tapi disela kesalnya akan tingkah sang ibu di luar kamarnya, getaran ponselnya membuat Renjun segera memeriksa. Oh, nomor yang baru-baru ini berhasil ia tambahkan di daftar kontak miliknya.

Si Ketua OSIS
|di rumah?

You
Iya, kenapa?|

Si Ketua Osis
|bisa temuin gue sebentar?

Renjun berpikir, ini mungkin kesempatannya pergi dari rumah untuk sementara waktu. Tapi dia juga berpikir, kenapa si ketua itu ingin bertemu dengannya sore menjelang malam ini.

"Ah, paling masalah pentas."

Berhubung dia ingat jika kapan waktu ia tampil belum diberitahukan, maka Renjun berpikir mungkin itu yang akan si ketua nanti bahas. Dengan cepat, ia mengetikkan sebuah balasan. Tentang persetujuan dan tempat di mana mereka akan bertemu tak lama lagi.




Brak!





Renjun menghela napasnya. "Alamat lewat jendela lagi nih gue."



═════════•°•⚠️•°•═════════

Sunday, 24 April 2022


(+) yh,,, udh phm lh y klen 😔

Aram Temaram - Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang