13 | Berhenti Ikut Campur

108 35 2
                                    

include: kata-kata kasar.

═════════•°•⚠️•°•═════════

Kondisi rumahnya terlampau layak dihuni. Cukup besar untuk ditinggali oleh Renjun seorang. Ada dua lantai dengan lima kamar yang mampu ditiduri oleh sembilan orang. Entah sebanyak apa keluarga si ketua OSIS itu, tapi sungguh Renjun rasanya ingin kembali menolak karena merasa sungkan.

Ujung baju ditariknya, membuat sang empu menoleh heran. "Kenapa Ren?" tanyanya. Renjun memandang khawatir pada sang empu rumah yang katanya telah lama dibiarkan terurus oleh pembantunya. Ia menggeleng.

"Gue... gak berani."

Ada tawa renyah yang terdengar, si perempuan menarik pelan genggaman Renjun di bajunya. Ia membawa tangan itu untuk digenggam dan menarik tubuh Renjun untuk masuk ke dalam bangunan yang masih terlihat kokoh di depan sana.

"Nggak perlu takut. Gue udah bilang aman, Renjun."

Renjun akhirnya masuk ke dalam rumah yang akan ia tinggali dalam entah berapa lama. Ia harap tak selama itu. Karena ia masih cukup tahu diri. Sedekat apapun ia nanti dengan si ketua, tak pantas pula jika Renjun terlalu memanfaatkan kehadirannya.

"Lo bebas pilih kamar mana aja. Tapi gue saranin sih, kamar yang paling besar di lantai dua. Mau lihat?"

Renjun mengangguk ragu, tapi perempuan yang masih menggenggam tangannya itu tetap tersenyum simpul dan membawa tubuh Renjun untuk kembali melangkah lebih dalam. Ada ruangan rapi dengan dominasi warna abu-abu dan putih. Nampak elegan dan tenang. Renjun mengamati sekitarnya. Sejujurnya, hatinya masih belum sanggup menerima fasilitas cuma-cumanya. Tapi, ketika senyum hangat dan sorot mata tanpa beban itu menyambutnya, Renjun jadi tak ragu lagi.

"Lo bisa tidur di sini. Kunci rumahnya juga udah lo bawa, jadi gue pulang sekarang, ya?"

"Pulang?" alis Renjun mengerut. Ia tak setuju dengan kalimat itu. Lantas ia menawarkan opsi. "Gak tidur di sini aja? Udah malem juga, kan? Setengah sepuluh."

"Gapapa?" tanya sang ketua hati-hati. Lalu Renjun terkekeh. Mengangguk santai.

"Ini kan, rumah lo? Gapapa dong."

Perempuan di hadapannya kembali menampilkan senyum lembutnya. "Oke. Gue bilang ke sopir kalau gue nginep. Malem, Renjun."

"Eh, tunggu!" Pergelangan tangan ditahan, Renjun bersitatap dengan sang empu yang menoleh heran. "Lo... tidur di bawah?"

Kekehan si perempuan ia dengar. "Ya, iya. Masa gue harus sekamar sama lo?"

Seketika cekalan terlepas. Renjun nampak salah tingkah. Matanya berpendar ke segala arah sebelum decakan pelan terdengar dari mulutnya. Matanya melirik takut-takut pada sang empu rumah, tak ada senyuman mengejek atau yang lainnya. Hanya senyuman normal yang biasa. Membuat Renjun merasa lebih tenang, karena tak adanya reaksi berlebih dari sang teman.

"Ya, yaudah, malem y/n. Sekali lagi makasih banyak bantuannya."

Renjun gugup. Grogi sekali. Tapi beruntung sang ketua OSIS itu pergi untuk turun. Meninggalkan Renjun yang bisa bernapas lega karena bebas dari rasa malunya. Ia kembali mendecak, memukul kepalanya dan menggumam. "Goblok banget Renjun!"

Lantas ia mengembuskan napasnya. Menatap ke arah tangga dengan senyum tipis yang terkembang. Sang teman barunya itu nyatanya telah sanggup berbuat banyak untuknya. Meski heran pula, mengapa Renjun bisa berakhir mempunyai hubungan lebih dari 'tahu nama'. Ah, Renjun harus membalas dengan apa ya?

[]


"Huang Renjun, ya? Lo suka sama dia Dek?"

Sang saudari mendecak. "Nggak usah macem-macem."

Tawa renyah di seberang telepon membuatnya semakin kesal. Ia serius tak suka jika kakaknya mulai mencari tahu siapapun yang berurusan dengannya. Sudah jelas, sebagai kakak yang ditugaskan sang ayah ia harus selalu melaporkan setiap hal yang anak perempuannya perbuat.

"Gue nggak akan ngadu. Tapi kalau lo mulai berlebihan, gue angkat tangan, ya."

"Kalau udah nggak ada topik yang mau lo bahas, gue tutup."

"Sebentar." Ada jeda yang membuatnya menunggu. Kakaknya masih membisu untuk beberapa saat. Lantas dengan tarikan napas, sang kakak melontarkan tanyanya.

"Lo jadi penguntit, ya?"

Kembali terdengar suara napas yang terembus tatkala tak ada jawaban berarti dari adiknya. "Jelek banget, y/n. Perilaku lo jelek, lo sadar itu?"

"...ya. Tapi—"

"Nggak ada pembenaran untuk tingkah lo. Berhenti ikut campur masalah Renjun dan biarin dia selesaiin sendiri. Dia punya hak untuk itu. Lo sebagai pihak luar jangan bertindak kecuali dia yang minta bantuan." Sang kakak menyela, dengan nada tanpa bantahan khas saudara yang memang ingin berceramah. Adik perempuannya menggeram kesal.

"Kak, berhenti tahu semuanya," ungkapnya. Tapi seringaian sang kakak yang tak mampu ia lihat tercetak jelas di bibir sebelum menjawab.

"Gue harus. Gue punya hak untuk tahu apa yang dilakuin adek gue diluar rumah." Ia berhenti sejenak. Lantas melanjutkan dengan nadanya yang lebih santai. "Jadi lo paksa Renjun buat tinggal di rumah kita?"

Adiknya mengangguk. "Enggak." Tapi jawaban yang keluar tak sesuai. Kakaknya tertawa pelan.

"Oke, Renjun boleh tinggal di rumah kita. Tapi setelah itu, lo nggak boleh ikut campur lagi. Ngerti y/n?"

Ada bahasa lahir yang ia ucap untuk setuju. Panggilan lantas ditutup dan ia mengembuskan napas dengan berat. Matanya menatap langit-langit kamar. Memandang dalam diam dan tak berpikir apapun. Ia tenggelam dalam putihnya atap plafon yang bersih dengan tambahan ukiran ombak di setiap sudut. Lantas ia tiba-tiba mendecak, mengingat bagaimana sang kakak mengomel.

"Apa bedanya gue sama dia." Dengkusan terdengar, ia menyeringai. Menatap remeh bayangan kakaknya di atap plafon. "Kak Yuta, jangan harap gue nurut omongan lo."

═════════•°•⚠️•°•═════════

Friday, 3 June 2022

tmi
detail rumah :

tmidetail rumah :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

scr: pinterest

Aram Temaram - Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang