Chapter X: Sakya?

214 35 6
                                    

"Rad? Bisa ngobrol bentar gak?"

Radi yang baru saja keluar kelasnya dikejutkan dengan seseorang yang memanggilnya. Seseorang yang sudah hampir 1 minggu ini tidak berbicara dengannya. Farzan.

"Mau dimana?" tanya Radi.

"Di kantin fakultas lo aja." ujar Farzan.

"Kantin fakultas gue rame, nanti bisa ketemu Ocean juga." ujar Radi.

"Yaudah di cafe depan aja mau?" tanya Farzan. Radi mengangguk.

"Gue nyusul, mau balikin buku dulu ke perpus." ujar Radi.

"Oke, gue tunggu ya."

Farzan meninggalkan Radi yang masih sedikit terkejut. Ia berjalan menuju perpustakaan dengan banyak pertanyaan di pikirannya. Apa yang sekiranya akan Farzan bicarakan?

Tak sampai 15 menit, Radi sudah sampai di depan cafe yang dimaksud Farzan. Farzan seperti mengalami dejavu karena beberapa hari lalu juga ia bertemu di tempat yang sama dengan Ethan, dan juga akan membicarakan hal yang sama.

"Mau pesen dulu gak?" tanya Farzan. Radi menggeleng.

"Gue udah kenyang." jawabnya. "Langsung aja, Bang."

Farzan menghela napasnya, "Pertama-tama gue mau minta maaf sama lo." ujarnya. Radi hanya diam mendengarkan.

Farzan menceritakan semua hal yang ia ceritakan pada Ethan beberapa hari lalu kepada Radi. Tentang ia yang merasa ada seseorang yang menjebaknya, sehingga membuat Radi curiga padanya. Ia bersumpah bahwa sarung tangan tersebut bukanlah miliknya.

"Lo kenapa gak bilang dari kemaren sih, Bang?" tanya Radi. Farzan mengatupkan bibirnya.

"Jujur gue sempet agak tersinggung pas lo nanya waktu itu karna kesannya lo beneran nuduh gue. Tapi setelah gue pikir, waktu itu gue cuma emosi sesaat dan gak seharusnya gue bereaksi kaya gitu. Dan pas lo ngajak kita semua ngobrol, gue sengaja mancing lo dan gak bilang yang sebenernya karna gue tau kita gabisa percaya sama siapapun disana." ujar Farzan.

Radi mengernyit, "Jadi lo juga mikir kalo pelakunya ada diantara kita, Bang?" Farzan mengangguk.

"Terlebih sejak kejadian lo waktu itu, gue ngerasa ada yang tau kalo lo lagi nyari tau tentang Kaili." ujar Farzan.

"Tapi gue gapernah cerita sama siapapun, Bang. Kecuali sama Emil dan lo." ujar Radi.

"Gaada yang tau, Rad." ujar Farzan.

**********

Emilio tengah asyik bersantai di ruang tengah seraya menonton sinetron di tv bersama Malik yang kebetulan baru saja kembali dari bimbingan di kampusnya.

"Ospek jurusan lo udah kelar belom sih, Mil?" tanya Malik saat sinetron tersebut tengah jeda iklan.

Emilio menggeleng, "Ya masih jalan dikit-dikit, Bang. Angkatannya Bang Adnan masih betah ngerjain angkatan gue." jawab Emilio. Malik terkekeh.

"Lama banget dah, emang selalu gitu ya mesin tuh? Dulu jaman Harris juga gitu." ujar Malik. Emilio mengangguk.

"Angkatan Bang Harris lebih parah deh kayanya, sampe gaboleh ke kantin jurusan berapa bulan gitu. Kalo sekarang gue masih boleh." ujar Emilio. Malik manggut-manggut.

"Nikmatin aja sih, Mil. Gue kadang kangen jadi mahasiswa muda kayak lo, kerjaannya cuma kuliah, nongkrong, pulang. Gitu terus gue dulu." ujar Malik. Matanya menerawang ke depan.

"Jadi mahasiswa tingkat akhir bukannya enak, Bang? Tinggal ngerjain skripsi aja?" tanya Emilio. Malik tersenyum miring.

"Enak sih kalo skripsi lo lancar gaada halangan." ujar Malik.

"Bang Malik sendiri gimana skripsinya? Lancar kan?" Malik tertawa pahit.

"Kalo lancar mah gue udah lulus dari tahun lalu." jawabnya.

Emilio tidak bertanya lebih lanjut karena ia takut jika topik pembicaraan tersebut terlalu sensitif untuk Malik. Maka ia hanya diam kembali menatap tv karena jeda iklan sinetron yang ditontonnya sudah selesai.

"Nonton sinetron mulu dah lo kaya emak-emak."

Harris yang baru pulang dari kampus muncul dari belakang Malik. Sementara 2 orang yang tengah menonton hanya mencibir.

"Hari ini gerah banget gak sih?" Harris mendudukkan tubuhnya di sebelah Malik seraya mengibas-ngibaskan bajunya kegerahan.

"Heeh, makanya ini gue lagi diem aja ga banyak gerak." ujar Malik.

"Gue pengen berenang deh. Temenin yuk, Bang." ujar Harris sambil menarik lengan Malik.

"Gue mager mandi nya, Ris." ujar Malik. Harris mencibir.

"Elu deh, Mil. Temenin gue yuk." ujar Harris lagi kini membujuk si bungsu.

"Sama kaya Bang Malik. Lagian ini sinetron nya lagi seru, Bang. Cowoknya udah mau ketahuan selingkuh ini." jawab Emilio tanpa sedetikpun mengalihkan pandangannya dari tv.

Harris mencibir dan bangkit dari duduknya, "Gak seru lo berdua."

Ia kemudian berjalan menuju kamarnya, untuk meletakkan tas kuliahnya dan mengganti baju dengan celana pendek. Ia tidak mengenakan baju atasan karena ia memang berniat untuk berenang. Handuk tersampir di bahunya.

"Awas ya lo pada ikutan." ujar Harris kepada Malik dan Emilio yang masih asyik dengan sinetronnya, dan kemudian dibalas dengan lambaian tangan Malik.

Harris berjalan naik menuju lantai 2 tempat kolam berenang kosan mereka berada. Kosan ini termasuk kosan yang cukup mewah karena dilengkapi dengan beragam fasilitas, diantaranya adalah kolam renang di lantai 2 dan gym di lantai 3.

Ia mencapai anak tangga paling tinggi saat ia mendengar samar-samar orang tengah berbincang lewat telepon. Ia berusaha mencari asal suara tersebut. Semua kamar yang ada di lantai 2 dalam kondisi tertutup. Namun semakin ia mendekat ke lorong kamar-kamar tersebut, suara yang ia dengar semakin jelas. Dan suara tersebut ternyata berasal dari kamar Sakya.

"Kan gue udah bilang dari awal kalo sekarang waktunya lagi gak tepat."

"....."

"Gak, gabisa. Disini udah mulai gaberes."

"....."

"Udah pokoknya lo kelarin urusan lo aja, biar urusan yang disini gue yang handle."

"....."

"Iya, tenang aja. Gue udah jalanin sesuai rencana awal, kalo misal ada yang berubah kita langsung ganti rencana aja."

"....."

"Nanti gue kabarin kelanjutannya gimana. Kalo emang tambah kacau, kita batalin aja."

"....."

"Iya beres, gue main aman kok dia gabakal curiga."

Harris mundur beberapa langkah. Ia baru saja mencuri dengar Sakya yang tengah berbincang dengan seseorang di telepon. Dan dari percakapan barusan, kenapa Harris memiliki perasaan tidak enak?

Baru saja Harris hendak berbalik menuju kolam renang, tiba-tiba pintu kamar Sakya terbuka dan sang empu nya kamar pun menunjukkan batang hidungnya.

"Sejak kapan lo disini, Ris?" Sakya keluar dari kamarnya dan melihat Harris yang hanya berjarak beberapa langkah dari kamarnya.

"Eh, baru aja. Gue mau berenang." jawab Harris sambil menunjuk tubuhnya yang setengah telanjang.

"Lo nguping gue barusan ya?"

Harris yang ditunjuk langsung di depan mata hanya bisa menggigit bibirnya, "Kaga. Ngapain gue nguping lo?" ia mundur beberapa langkah dan berbalik menuju kolam renang, meninggalkan Sakya yang masih menatapnya.

"Dia beneran denger ternyata."

*********
Nah loh.

As It Was | nct 127Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang