Chapter XI: The Suspicion (2)

207 35 2
                                    

"Jangan karena temen kamu itu meninggal kamu jadi santai-santai ya. Kamu harus tepatin janji kamu sama papa."

Ia hanya diam tak menjawab setiap perkataan papanya yang hampir setiap hari didengarnya. Meskipun jarak memisahkan mereka, namun telepon dari papanya tidak pernah berhenti berdering.

"Jangan mentang-mentang kamu anak tunggal jadi bisa seenaknya. Papa gamau habiskan uang papa hanya untuk biayain anak yang kerjaannya cuma menyepelekan kuliah kayak kamu." suara tersebut terdengar begitu nyaring di telinganya.

Ia hanya memejamkan matanya. Hatinya begitu perih namun ia sudah tidak bisa menangis. Bahkan kata-kata papanya terkadang lebih menyakitkan dibanding tamparan di pipinya.

"Papa gamau tau, papa udah terlalu capek marahin kamu. Bulan ini harus ada kabar baik yang sampai ke telinga papa, kalau ngga, kamu liat sendiri akibatnya."

Telepon pun akhirnya terputus secara sepihak. Ia menghela napasnya kasar. Bagaimana ia bisa menyelesaikan kekacauan yang sudah ia buat?

Haruskah ia pergi menyusul Kaili?

**********

"Kok ga dimakan makanannya?"

Radi mengangkat wajahnya dari mangkuk bakso yang sedari tadi hanya diaduknya. Ia menatap wajah Maura yang kini tengah memperhatikannya.

"Kamu sakit?" Maura memegang dahi Radi.

"Gak panas kok." ujarnya kemudian. "Kamu mau aku pesenin yang lain?"

Radi menggeleng, "Ngga kok, aku cuma kepikiran sesuatu aja tadi." ujar Radi yang kemudian mulai menyendok makanannya.

"Masalah di kosan kamu?" tanya Maura. Radi mengangguk.

"Polisi belum ada bilang apa-apa lagi?" Radi menggeleng.

"Mereka bilang laporan penyelidikan udah selesai, tapi gatau kenapa belum sampe ke kita. Udah hampir sebulan juga padahal." jawab Radi.

"Mungkin masih ada yang harus diselidikin?" Maura menanggapi. "Kamu udah coba tanya lagi ke mereka?"

Radi menggeleng, "Belom. Suasana kosan sekarang juga lagi ngga enak." jawabnya.

"Pantesan." ujar Maura. "Mau nginep di kosan aku dulu?"

Radi mendelik, "Heh, ngapain?"

Maura memutar bola matanya, "Kan aku besok ke Surabaya, Rad. Kamu lupa?" ujarnya. Radi menggaruk kepalanya sambil meringis.

"Kamu mikirnya udah kemana-mana ya?" sungut Maura. Radi terkekeh.

"Iya aku lupa, maaf ya." ujar Radi sambil mengelus kepala Maura pelan.

"Ra, maaf ya kalo akhir-akhir ini aku agak distracted. There's just been a lot of things going on and it's kinda overwhelming." Radi menatap kekasihnya itu dalam-dalam. Maura tersenyum sambil memegang tangan Radi.

"Gapapa. It must've been hard on you. Just know that I'm only an arm's reach away." jawab Maura.

**********

Adnan berjalan dengan gontai setelah keluar dari ruangan kesekretarian rektorat. Proposal kegiatan yang dibawanya tidak mendapatkan izin dikarenakan kasus Kaili yang terjadi belum sampai sebulan lalu sekarang masih menjadi buah bibir, sehingga nama kampus ikut terbawa dan menjadi sorotan.

Proposal sponsor sudah ada yang diajukan sejak jauh hari dan beberapa perusahaan sudah ada yang menyetujui. Jauh sebelum kejadian Kaili. Namun apabila kampus tidak memberikan izin formal untuk acara, maka sponsor akan hangus dan kemungkinan besar juga mereka harus membayar denda.

Adnan mengacak rambutnya frustasi. Kemarin ia terpaksa tidak kuliah untuk menyelesaikan proposal yang berakhir ditolak ini. Ia bahkan melewatkan beberapa rapat karena ia tidak sanggup mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari rekan-rekannya.

Ia berjalan menuju parkiran yang tidak jauh dari ruang kesekretariatan. Ia melempar proposal yang ada di tangannya ke aspal, kemudian ia mendudukkan dirinya di trotoar. Ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya kemudian menyalakannya. Ia menghisapnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya lewat hidung.

Kepalanya saat ini serasa ingin pecah, Bukan hanya tentang proposal nya yang baru saja ditolak, beberapa hari yang lalu, ia mendapat kabar bahwa lomba yang akan diikutinya waktu pelaksanaannya akan dipercepat 2 bulan lebih awal, yang mana itu berarti lomba tersebut akan dilaksanakan 2 bulan lagi, sementara Adnan belum menyiapkan apapun. Selain karena ia sibuk mengurus kegiatannya, masalah-masalah di kosannya juga cukup menyita pikirannya.

Ia memejamkan matanya kuat-kuat, berharap semua permasalahan yang ia miliki akan segera hilang saat ia membuka matanya. Namun, ia tahu hal itu mustahil.

Ia mulai menyesali semua keputusannya. Keputusan untuk bisa menjadi 'saingan' Radi bukanlah keputusan yang tepat. Label 'almost perfect' yang ada di dahinya justru semakin membebaninya. Seandainya ia bisa memilih untuk menjadi lelaki biasa yang rata-rata di segala aspek, Adnan mungkin akan lebih memilih jalan itu saat ini. Ia mulai menyadari selama ini, ia menjalani hidupnya untuk memenuhi ekspektasi orang-orang. Ia berusaha untuk memenuhi standar ideal sosial, dan ia tak memungkiri bahwa selama ini juga ia haus akan validasi.

Dan saat ini, semua itu menjadi bumerang untuk dirinya, yang bahkan saat ini tidak mempunyai ekspektasi apapun untuk dirinya sendiri.

Adnan baru saja hendak menandaskan rokoknya dalam isapan terakhir saat ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ia merogohnya dari kantongnya.

"Nan, pesenan lo udah dateng nih."

Adnan mengusap hidungnya, "Iya gue kesana bentar lagi."

**********

"Rad."

Radi menoleh dan melihat Harris yang memanggilnya dari kamarnya. Kebetulan kamar mereka letaknya berdekatan.

"Apaan?"

"Sini bentar."

Harris memanggil Radi ke kamarnya. Radi yang bingung pun mengikuti Harris dan masuk ke kamarnya.

"Kenapa, Bang?"

Harris memelankan suaranya, "Gue kemarin abis nguping."

"Hah? Nguping?" tanya Radi. Harris kemudian menempelkan telunjuk di depan bibirnya.

"Sssst goblok, jangan berisik." ujarnya. Radi mengangguk kemudian mendekat ke arah Harris.

"Kemarin gue habis nguping Sakya nelpon." ujar Harris.

Radi mengernyit, "Hah? Bang Sakya?"

Harris mengangguk. Ia kemudian menceritakan semua yang didengarnya kemarin di depan kamar Sakya. Ia menyimpulkan bahwa pembicaraan Sakya agak sedikit mencurigakan dan ia merasa ia harus memberitahu Radi karena ia merasa hanya Radi yang bisa ia percaya diantara teman-temannya.

"Gue paham sih, Bang. Gue gamau suudzon tapi emang sekarang gerak-gerik semua orang jadi terlihat mencurigakan." ujar Radi setelah mendengar cerita Harris.

"Lo jangan bilang siapapun ya, Adnan juga." ujar Harris. Radi mengangguk.

"Ngomong-ngomong Adnan, itu anak belom balik juga dari tadi pagi." ujar Radi sambil melirik jam dinding di kamar Harris.

Sudah jam 11 malam.

As It Was | nct 127Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang