Chapter XIV: Ethan Julian

217 32 2
                                    

"Mama.."

"Bangun, ma.."

Anak kecil itu tak hentinya mengguncang tubuh wanita yang telah terbujur kaku di hadapannya. Darah memenuhi sekujur tangan mungilnya. Airmata juga tak hentinya mengalir dari mata bocah kelas 1 SD tersebut.

"Ethan!!"

Terdengar suara dari arah pintu depan. Suara anak kecil yang begitu familiar di telinganya.

"Ethan katanya kamu mau main sama ak-"

Kata-kata bocah yang baru datang tersebut terhenti karena ia melihat apa yang ada di hadapannya saat ini. Ia menutup mulutnya karena terkejut. Ia juga hampir menangis namun ia berusaha sekuat tenaga menahannya.

"Bang Farzan, mama kenapa diem aja?"

Farzan kecil pun berjalan mendekat dan menarik lengan Ethan kecil untuk menjauh dari jasad Ibunya. Sebagai kakak, Farzan harus terlihat lebih dewasa dibandingkan Ethan meskipun ia sendiri baru berumur 7 tahun.

"Ethan jangan nangis ya, ayo kita telepon papa kamu." ujarnya sambil mengelus kepala Ethan kecil yang kini masih menangis dalam pelukannya.

Sejak saat itu, sejak kepergian Ibunya yang tragis karena pembunuhan tunggal di rumahnya sendiri, Ethan Julian memiliki fobia terhadap darah. Setiap kali ia melihat darah di hadapannya, ia tidak akan bisa bergerak. Ia seolah membeku dan kembali teringat akan peristiwa 15 tahun yang lalu.

Dan saat ini, Farzan melihat Ethan yang juga telah pergi dengan cara yang begitu mengenaskan. Pembuluh nadi nya tersayat oleh sebuah cutter yang juga tergeletak di samping tubuhnya. Farzan terduduk di lantai, tanpa tahu harus berbuat apa.

"Sak.."

"Sakya..."

Farzan memanggil Sakya yang kebetulan kamarnya berada di seberang kamar Ethan. Sakya yang mendengar namanya dipanggil pun langsung keluar dari kamarnya, dan ia juga tak kalah terkejutnya dengan Farzan.

"Zan...Ethan kenapa?"

Farzan tidak menjawab. Tangisnya langsung pecah. Sakya mendekat untuk memeluknya. Sakya berusaha menenangkan Farzan seraya mengalihkan pandangannya dari jasad Ethan. Tangannya tergerak untuk mengambil ponselnya dan ia menelepon nama yang berada di posisi teratas pada aplikasi pesan singkatnya.

"Rad, cepet ke kamar Ethan sekarang. Ajak Malik, Harris, sama Emil juga sekalian." ujarnya dan langsung menutup teleponnya. Dengan susah payah ia juga berusaha untuk menahan tangisannya yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

**********

"Sekarang lo udah mau jelasin ke gue semuanya?"

Ocean menatap Adnan yang kini masih terbaring lemah diatas tempat tidur. Hampir 2 hari Ocean tidak pulang ke kosan karena harus merawat Adnan. Kini keadaan Adnan sudah sedikit membaik dibanding kemarin.

"Gue gatau gue kenapa, Ce." jawabnya. "Lo juga ngapain disini?"

Ocean mengernyit, "Kalo gue tinggal nanti lo meninggal." jawab Ocean asal. Adnan terkekeh.

"Apa mending kaya gitu aja ya?" ujarnya. Ocean menghela napasnya kasar.

"Lo tuh punya banyak temen, Nan. Keberadaan kita disini buat apa kalo bukan buat nolongin lo? Selama ini lo nganggep gue apa sih? Lo juga ga nganggep Radi sodara lo?" tanya Ocean. Adnan mengusap wajahnya kasar.

"Kan gue bilang gue juga gatau gue kenapa, Ce. Kayanya kemarin gue cuma lagi capek aja." ujar Adnan.

Wajah Ocean memerah, "Capek? Kalo capek tuh istirahat, Nan. Bukan ngobat."

As It Was | nct 127Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang