BAB I : The Death

113K 6.4K 208
                                    

"Pokoknya Selene nggak mau belajar nari balet!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pokoknya Selene nggak mau belajar nari balet!"

Selene membuang wajahnya dari pandangan sang Bunda. Ia kemudian berlari menuju sang Ayah yang nampak tertawa kecil melihat tingkah nakalnya. "Ayah," rengeknya manja.

"Apa sayang?" Mario bersimpuh menghadap sang putri tercinta.

Selene, masih dengan wajah merengutnya, memelas kepada sang Ayah. "Ayah, Selene nggak mau belajar nari balet."

"Kenapa, hm?" Tanya Mario lembut. "Kamu nggak liat, Bunda di sana udah melotot garang ke arah Ayah?" Tunjuk netra hangat Mario pada Bellina yang sudah berkacak pinggang, menatapnya garang dari seberang sana.

Selene mengikuti arah pandang Ayahnya sebentar. Tapi kemudian dia kembali membuang wajahnya ke arah sang Ayah. Berniat merengek lagi. "Ayah—"

"Biar adil, gimana kalau Ayah dan Bunda ikut belajar nari balet?" Mario tersenyum hangat menatapi Selene dengan pandangan yang lembut. Tangannya tak tinggal diam, ia mengelus rambut halus putri kecilnya dengan sayang.

"Beneran?!" Kedua netra Selene dalam sekejap berkontraksi. Mereka berbinar cerah.

"Iya. Serius!" Angguk Mario semangat.

"Wah, beneran kan, Bun?!" Binar cerah mata Selene beralih cepat ke arah sang Bunda. Seolah ingin meyakinkan lagi kesepakatan itu.

Bellina hanya bisa melembutkan wajahnya. Ia menggauk kecil sembari tersenyum halus menatap sang putri yang sepertinya tumbuh dengan terlalu banyak kasih sayang darinya dan sang suami.

"Wah, YES!!!" Girang Selene.

•••

"HAHAHAHA! Ayah kenapa lucu sekali."

Selene sedari tadi tak bisa berhenti tertawa karena pemandangan yang ada di hadapannya. Tepat di depan sana, sang Ayah tengah memakai baju balet yang nampak kekecilan di badannya yang besar seperti Hulk.

Mario ikut tertawa. Ia semakin membuat Selene tergelak dengan putaran kecilnya yang kemayu, seperti ibu peri.

Sementara Bellina dengan kecantikannya, hanya bisa memandangi pemandangan ini dengan hati yang menghangat.

"Iyo, Elen, ayo, Gurunya sudah datang! Bersikap serius!" Tegur Bellina.

Mereka segera bersiap di tempat. Selene menepati janjinya untuk belajar menari balet dengan serius. Begitu pula Mario yang sudah menepati janjinya dengan ikut belajar menari bersama sang putri tercinta.

Hari itu begitu indah tergambar. Mereka menari dan terus menari. Berakhir dengan Selene yang merajuk karena melihat keromatisan sang Ayah dan sang Bunda yang tengah menari bersama.

Terlalu banyak cinta yang kedua orang tua itu tuangkan di setiap tatapan dan senyuman mereka. Membuat Selene merasa sedikit iri sekaligus bahagia. Dan tak ingin semua hal ini berakhir dengan cepat.

Hingga...

"Hiks. Hiks. Hiks."

Selene melihat dengan kepala matanya sendiri sang Bunda tengah menangis sesenggukan di dalam kamarnya. Hal ini bukanlah sekali dua kali terjadi. Melainkan sudah berkali-kali Selene memergoki sang Bunda menangis sembari mengelus foto sang Ayah yang ada di dalam pigura.

Ini semua sudah jelas merupakan salahnya!

Andaikan waktu itu dia tidak bersikap keras kepala, pasti semua ini tidak akan terjadi!

Andaikan waktu itu dia tidak egois dan mementingkan dirinya sendiri, Ayahnya pasti masih bersama dengan mereka saat ini!

Tapi, semua itu tetap saja hanya sebuah perandaian. Karena kenyataannya sang Ayah telah tewas akibat kecelakaan lalu lintas yang terjadi beberapa tahun lalu.

Kecelakaan yang begitu hebat itu telah berhasil merenggut nyawa Ayahnya dan menyisahkan luka yang mendalam bagi Selene dan Bundanya.

Mereka memang sangat teramat terpukul, namun sekali lagi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Terutama Selene. Yang sadar bahwa kecelakaan itu disebabkan karena keegoisannya sendiri. Meski sudah berulang kali sang Bunda mengatakan bahwa itu bukan kesalahannya, melainkan takdir, namun, tidak dapat di pungkiri bahwa Selene pun ikut andil di dalam garis kematian Ayahnya.

Dia yang merajuk, ingin Ayahnya datang untuk melihatnya melakukan lomba menari balet. Padahal, Bundanya sudah mengatakan berulang kali padanya bahwa sang Ayah tengah sibuk mengurus perusahaan yang sedang dalam ambang kebangkrutan.

Namun, saat itu Selene tidak peduli. Dia tetap menghubungi sang Ayah dan memaksanya untuk datang melihat pertunjukannya, kalau tidak, Selene tidak akan mau ikut perlombaan itu.

Mario yang memang selalu memprioritaskan putri tercintanya dalam segala urusannya segera bergegas menuju mobil dan mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh.

Saking terburu-burunya pria itu pada saat itu, Mario sampai tidak sadar bahwa ia telah menerobos lampu lalu lintas yang sudah berubah warna menjadi merah.

Dan tiba-tiba saja dari arah kanannya terdapat sebuah truk melaju dengan begitu kencang. Semuanya menjadi tak terhindarkan. Dalam sekejap, badan depan truk itu menabrak bagian samping, tepat pada bangku sopir yang kemudian menewaskan Mario.

Kecelakaan juga tak hanya sampai di situ, ada beberapa pengendara mobil serta motor lainnya yang juga menjadi korban di tempat. Dengan kata lain, keegosain Selene telah mengakibatkan beberapa nyawa orang lain terbuang sia-sia dan beberapa lainnya harus mendapatkan perawatan intens yang lebih di rumah sakit.

Selene benar-benar tak kuat mengingat kembali kejadian memilukan itu. Di tambah lagi, kini, Selene harus kembali melihat Bundanya menangisi sang Ayah yang telah berada di atas surga sana. Mengelusi piguranya, dan melakukan percakapan dengan benda mati itu, seolah ia dapat mendengarkan suara hati Bundanya dengan baik.

Selene sebenarnya lemah. Sangat lemah. Tanpa Bundanya tahu, Selene juga hancur. Dunianya runtuh tak berbekas. Setiap malam, Selene akan selalu menangis tanpa suara. Terus menyalahkan dan menyakiti dirinya sendiri.

Karena tak hanya sang Bunda, Selene pun sama kehilangannya. Bedanya, Selene tak mau siapa pun tahu tentang kehancurannya. Cukup saja dia dan Tuhan yang tahu.

Tak mampu mendengar suara jeritan tangis sang Bunda, Selene akhirnya pergi dari sana dengan deraian air mata yang tak berhenti mengalir.

Dengan kekuatan seribu langkah, Selene segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Menerobos hujan badai yang sedang terjadi di malam gulita ini. Selene terus menangis dan menangis. Hanya satu tujuannya saat ini. Yaitu, makam sang Ayah.

"Tuhan, aku tahu kau tidak biasa melakukan ini, tapi aku memohon padamu Ya Tuhan, tolong kembalikan pria yang Bunda saya cintai itu Tuhan. Kembalikan pria itu dalam pelukan Bunda, Tuhan. Sesungguhnya beliau hampir mati menanggung beban kesedihan itu." Mohon Selene sembari menangis sesenggukan.

"Dan tolong, angkatlah beban yang sedang menekan pundak Bunda saya, Tuhan. Agar beliau bisa bernapas dengan tenang." Permohonan terakhirnya.

Tanpa Selene sadari, di depannya ada sebuah batu besar yang sedang menghalangi jalannya.

"ASTAGA!" Teriak Selene.

Reflek, Selene segera membanting kemudinya ke arah kanan. Ke arah tepian jurang. Yang tanpa sadar, langsung menghantarkan mobil dan dirinya masuk ke dalam gelapnya laut di bawah sana.

Bruk!

"Hah, ternyata akulah beban di pundak itu."

Kata terakhir dari Selene sebelum semuanya menjadi gelap tak berbekas.

Boom!

•••o0o•••

Spam like dan komen.

Invincible VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang