📖 Prélude No.15, Op.28

217 37 11
                                    

Jieun hanya bisa memandangi foto gantungan kuncinya di layar ponsel. Benda kecil itu sangat berharga karena dibuat dengan benda pemberian ibunya. Tepatnya lonceng di gantungan kunci tersebut dibuat dari cincin dan gelang emas yang dileburkan.

Di ulang tahun Jieun yang ke 6, Ibu jieun hendak memberi perhiasan pada Jieun. Namun sejak kecil Jieun sudah terlihat tidak seperti gadis suka menghias diri. Dan mengetahui Jieun sangat menyukai basket, ibu Jieun memutuskan untuk melebur emas untuk membentuknya menjadi gantungan kunci berbentuk bola basket.

Jieun sangat menyukai hadiah ibunya, ia selalu membawa gantungan kunci tersebut kemana mana.

Saat bertemu Jiho di usia 8 tahun, Jieun memberikan gantungan kuncinya pada Jiho, lalu membuat satu lagi.

Milik Jiho sudah hilang sekitar 3 tahun yang lalu, hanya tersisa milik Jieun tapi kini Jieun kehilangan itu juga.

Di usia 18 tahun, Jieun benar benar paham arti kehilangan 'segalanya'.

"Coba kutanya, siapa lagi orang bodoh yang membawa emas kemana mana sebagai gantungan kunci selain kamu?" Ujar Heejin seraya menutup tirai kamar Jieun. Sejujurnya ia sedikit kesal karena harus bolak balik demi gantungan kunci mahal kesayangan temannya ini.

"Ini bukan tentang emas atau bukan, itu pemberian ibuku." Kilah Jieun.

Heejin duduk di pinggir ranjang Jieun, "Jiho juga punya, kan? Di mana miliknya?"

"Dia memberikannya pada orang lain dengan alasan orang itu sedang sedih," Jieun menjeda, menghela napas pasrah, "Jiho bilang keadaannya sangat mirip seperti saat pertama kali aku bertemu dengan Jiho di panti. Dulu Aku memberikan gantungan kunciku pada Jiho lalu membuat satu lagi, tapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Selain ibuku yang sudah tidak ada, kekayaan kami juga sudah lenyap ditelan bumi."

"Milik Jiho bisa saja masih ada. Kemungkinannya sangat kecil, tapi tidak ada salahnya berharap agar itu dapat kembali. Aku hanya bisa bantu berdoa." Heejin yang tidak bisa membantu banyak hanya bisa berusaha memberi saran terbaik.

"Berdoa?" Ulang Jieun tak percaya, "JeonHee? Sejak kapan kamu punya agama?"

Bahu Heejin berjengit ringan, "Tentu saja punya, Aku bukan orang yang menyembah sebuah bola berwarna oranye seperti seseorang."

Jieun yang kehabisan kata kata hanya bisa terkekeh mendengar ucapan Heejin. Dia akan selalu kalah jika Heejin sudah membuka mulut pedasnya.

Jieun lantas merebahkan tubuhnya di kasur, "Hahh, Jiho bahkan tidak mengenal orang itu, kemungkinannya bukan kecil, tapi mustahil."

"Semesta selalu punya cerita yang tidak terduga, Jieun. Tidak ada salahnya berharap, toh gratis."

"Nggak tahu deh. Aku mau tidur, matikan lampunya. Pulang sana." Jieun mengusir Heejin seraya menarik selimut sampai menutupi tubuh bagian atasnya.

"Hidup sebagai pesuruh nyonya Lee Jieun sangat menyebalkan."

Heejin menggerutu sembari melangkah menuju saklar di dekat pintu. Dan Jieun langsung membuka selimutnya saat mendengar Heejin.

"Ya! Jangan terang terangan begitu, nanti aku nggak sembuh sembuh."

"Tutup mulutmu Lee Jieun."

.

.

.

Heejin keluar dari kamar Jieun begitu temannya itu mulai tidur. Setelah mengurus tuan putri tersebut, Heejin masih harus pulang untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Hari yang sangat melelahkan, ia bahkan masih mengenakan seragam sekolah.

Crescendo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang