"Tentu saja, kami rumah sakit terbaik di Daegu. Yoongi juga memilih untuk tetap di sini, tolong percaya kepada kami. Pencarian pendonor masih dilakukan hingga sekarang, kami sedang berusaha secepat mungkin.
"Iya, baik. Terima kasih tuan Min."
Park Jihyeong menutup telepon.
"Ayah."
Jihyeong menoleh ke belakang begitu mendengar panggilan Jimin yang baru memasuki ruangan.
"Aku akan tetap sering ke rumah sakit. Kita tidak akan benar benar berpisah, jangan terlalu marah."
"Tadinya hanya satu hal yang membuat ayah kecewa, mimpimu. Tapi kini ada dua, dengan memaafkan ibumu."
"Ayah juga membuatku kecewa dengan mengatakan itu. Apa hanya ayah yang bisa kecewa? Tidak, Aku juga bisa."
"Ayah ingin yang terbaik untukmu, Jimin."
"Ayah ingin yang terbaik untukku atau untuk ayah sendiri?"
"Tolong. Berhenti memaksa standar bahagiamu kepada orang lain. Aku tidak membenarkan perselingkuhan ibu, tapi jika ayah bisa sedikit mengerti apa yang membuat orang lain bahagia, aku pikir itu akan lebih baik. Ini adalah pilihanku, untuk diriku."
*******
"Maaf karena mengganggu, kapten-"
"Aku bukan kapten tim lagi. Sejak kapan juga kamu memanggilku kapten, Han Jinhee?"
"Sejujurnya Aku sangat mengagumi kamu. Aku berusaha masuk ke tim agar bisa berteman dengan kamu karena kamu sulit didekati di kelas. Aku cuma berharap kamu mempertimbangkan lagi untuk tidak keluar dari tim, aku yakin kamu bisa main basket lagi, Jieun."
"Aku tidak bisa mempertimbangkannya. Itu bukan pilihanku."
"Apa separah itu..."
"Terima kasih sudah ingin berteman denganku. Aku akan mencoba memperlakukanmu dengan baik setelah kembali sekolah."
Jieun mengakhiri panggilan sepihak diikuti helaan napas. Sebenarnya Jieun menghargai Jinhee, namun membahas basket hanya akan kembali membuatnya sedih. Dia tidak ingin membahas itu selama masih di rumah sakit. Jieun terpaksa mengakhiri panggilan sebelum ingin kembali membanting barang.
Dilepasnya earphone kasar, Jieun menyambar jaket, buru buru keluar kamarnya. Hari ini ia berjanji pada Pak Daewoo untuk tak kemana mana. Tapi persetan, Jieun sangat sensitif dengan kata 'basket', ia perlu bergerak agar kemarahannya tak kembali meledak secara mendadak.
Jieun tak tahu mengapa ia berakhir di ruang musik, lagi. Tidak ada yang kemari karena semua orang sibuk dengan kunjungan keluarga di akhir tahun. Dan Jieun tak punya keluarga.
Tak mau terlalu lama meratapi kesedihan. Gadis itu duduk, menekan tuts piano.
"Kenapa kamu terus menekan Gb dan Bb setiap kemari?" Tukas Yoongi yang mendadak muncul.
"Dasar stalker. Kamu melihatku di lobi lalu mengikuti, kan?" Tuding Jieun melirik tajam.
Yoongi berkedik. "Cuma pingin ke sini, kok. Tapi serius, kenapa kamu selalu kemari untuk menekan tuts dengan wajah kusut?"
"Entahlah, menekan benda ini membuatku tenang. Dan aku tekan dua tuts saja agar tak mengganggu ketenangan sekitar." Jieun menjelaskan tanpa mengalihkan pandangan dari piano, "Sebetulnya Aku sempat ingin bertanya kepadamu untuk mengajariku."
Yoongi menunjuk dirinya sendiri, "Aku?"
"Belakangan ini Aku cukup tertarik dengan musik klasik karena kamu, jadi Aku ingin mencoba bidang yang tidak pernah terpikir olehku." Jieun menjeda kalimatnya, mengubah posisi duduk ke arah Yoongi di sampingnya, "Musik. Aku ingin mencoba belajar menggunakan alat musik, mencari tahu apa aku punya potensi vokal, juga menyusun lagu seperti kamu. Aku ingin memilih musik untuk kulakukan seumur hidupku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crescendo
FanfictionJieun kehilangan orang tuanya, ekonomi keluarganya ambruk, bahkan kehilangan sang Kakak saat melalui krisis terbesar dalam hidupnya. Impian Jieun untuk bergabung dalam tim nasional basket juga kandas setelah kecelakaan menimpanya sebelum pertandinga...