📖 First Love

210 40 2
                                    

"Paman, apa kamu bisa membuat orang yang kusayangi hidup? Apa kamu bisa menyerahkan nyawamu untukku? Tidak perlu minta maaf jika tidak bisa melakukan itu." Jieun berniat pergi dari sana, namun berhenti sejenak, lalu,  menoleh, "Ngomong ngomong, selamat karena hanya mendapat hukuman satu tahun."

Seorang pria paruh baya berlutut di hadapan Jieun dengan tangisan. Ia tidak bisa mengatakan apapun lagi setelah mendengar respon yang Jieun lontarkan atas permintaan maafnya.

Jieun pergi dengan hati dingin.
Kedua polisi yang mengawal lantas membawa pria itu pergi.

.

"Jeon Heejin, kamu bilang supirnya sudah mati?" Jieun menoleh tajam pada Heejin yang tengah mendorong kursi rodanya di belakang. Dan Heejin langsung menghindari tatapan Jieun.

"Kamu kan bertanya supir truknya, bukan pengendara sedan yang menabrak kakakmu." Heejin memberi pembelaan, "Dan Jieun, apa kamu nggak terlalu kasar? Beliau nggak akan nabrak Jiho kalau aja kecelakaan pertama nggak terjadi. Jarak pandang saat itu cukup terbatas, dia nggak sepenuhnya salah."

Jieun menghela napas kasar, kembali mengalihkan pandangan ke depan,
"Lupakan saja, jangan membuat suasana hatiku makin rusak. Ngomong ngomong ke mana si pemuda kulit putih itu? biasanya aku melihat dia setidaknya sekali sebelum jam tiga sore, tapi hari ini dia nggak kelihatan sama sekali."

Jieun selalu bertanya tanya karena Yoongi pasti menghilang di hari hari tertentu. Dulu Jieun merasa tenang dengan ketidakhadiran Yoongi, tapi kini itu mengganggu pikirannya.

"Hmm... Mungkin penggemarmu sudah sembuh dan pulang." Cetus Heejin menanggapi.

"Aku juga sempat berpikir begitu, tapi dia selalu muncul kembali. Apa dia sungguh sekaya itu untuk menghabiskan waktu luang di rumah sakit lalu pulang saat weekend?"

"Kenapa kamu begitu memikirkannya sampai meracau begini?" Heejin berkacak pinggang, "Hei. Jika sangat peduli, kunjungi saja kamarnya, lihat apa dia ada di sana atau tidak."

Jieun melengos hambar, "Aku nggak sekhawatir itu."

Heejin tak lagi menanggapi namun tak luput menggerutu seraya mendorong kursi roda Jieun.

"Astaga aku lupa!" Heejin mendadak berhenti, menepuk dahinya sendiri.

"Ada apa lagi sih?" Keluh Jieun tanpa menoleh. Namun setelah beberapa saat tak ada jawaban, Jieun melihat kebelakang, dan Heejin sudah berlari pergi.

Bocah brengsek, batin Jieun.
Ia lantas mendorong rodanya dengan sumpah serapah, Jieun akan menghabisi Heejin setelah ini.

Sesampainya di taman, Jieun mengedarkan pandangannya. Berharap bertemu dengan seseorang yang tidak diharapkan, ah sudahlah Jieun memang rumit, ia bilang tidak peduli pada Yoongi tapi tapi kini ia mencarinya tanpa sadar.

Tak lama perhatian Jieun tertuju pada seorang anak perempuan dengan pakaian pasian yang berusia sekitar sembilan tahun tengah berdiri di depan ayunan. Ia terlihat ragu di sana. Jieun kemudian menghampiri.

"Kamu ingin naik ayunan?"

Anak itu mengangguk.

"Lalu, kenapa berdiri saja di sini?"

"Ayunan ini biasanya dinaiki oleh anak anak naratama, aku selalu dimarahi saat menaikinya tapi aku selalu ingin naik ayunan. Lihat ada tulisannya." Anak itu menunjuk sebuah kertas yang tertempel di bangku ayunan.

Jieun terkekeh kemudian merobek kertas tersebut dari bangku, lantas memasukannya ke saku.

Jieun tersenyum, "Nggak ada peraturan semacam itu. Naik saja. Ayunan ini ada di area umum rumah sakit, semua orang boleh menggunakannya. Jika hanya naratama yang boleh, harusnya taruh di kamar naratama saja kan?"

Crescendo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang