sembilan.

178 20 2
                                    



































Lagu 'Diri' dari Tulus terus berputar berkali kali dari ponsel Nareth. Pemuda itu sedang duduk diam menghadap jendela. Langit diluar sana nampak begitu indah. Semburat jingga yang ditimbulkan oleh sang surya yang akan padam juga warna abu pekat yang bertengger diantaranya.

Punggungnya ia istirahatkan sebentar pada sandaran kursi. Tangannya menggenggam surat kecil. Surat yang ia dapat saat ia berada di perpustakaan. Awalnya ia hanya melihat lihat novel yang ada disana. Namun saat akan membaca, kertas itu jatuh. Dengan amplop coklat kecil, surat itu tersisip dibagian belakang buku.

'bawa pulang saja surat ini, kalau masih ada mungkin kamu yang baca novel ini setelah aku'

Perlahan tangannya membuka lipatan kertas itu. Kertas kusam dan tinta biru yang mengisinya.

Tak apa untuk sekedar menangis kala malam berkunjung.
Tak apa untuk jatuh terduduk kala lelah.
Tak apa kala tangis mu pecah membelah bulan.
Bintang yang kau ambilpun kadang juga akan hancur saat jatuh.
Berhati-hatilah kala menginjaknya.
Takut kau akan terluka lebih dalam dengan indahnya bintang.
Menepi.
Tak apa untuk sampai telat diujung.
Kau berhak beristirahat.

Keningnya nampak berkerut.

Apa arti dari bait ini?

Otaknya kembali berisik menimbulkan banyak sekali argumen argumen yang ingin sekali ia teriakkan pada dunia.

Sekian menit ia terdiam. Tak lama pintu kamarnya terbuka. Decitan itu membuatnya menoleh hanya untuk melihat Renka berdiri disana dengan baju setengah basah, mungkin akibat gerimis sore ini. Tangannya menenteng kantung plastik hitam yang entah apa isinya.

"Kenapa?" Tanyanya.

Renka melangkah mendekat. Menarik kursi belajar Nareth.

"Berisik banget lo" Ucap Renka entah apa maksudnya.

Nareth menoleh kepada sang teman yang berada disampingnya.

"Kepala lo berisik Nareth. Berhenti bertanya tentang isi dunia. Nggak ada gunanya."

Tak ada jawaban dari Nareth. Ia memilih diam dan kembali menatap langit yang kini telah gelap. Malam ini bulan nampak begitu jelas diambang sana. Hanya sebentar. Sebelum mendung menyembunyikannya.

"Berdamai sama diri sendiri aja belum bisa, sok sok an dengerin lagu Diri-nya Tulus." Renka mengambil ponsel itu lantas mematikan lagu yang sedari tadi berputar.

"Kalau seandainya gue jadi apa yang keluarga gue mau, apa mungkin sekarang semua pertanyaan yang ada diotak gue bakal terjawab?" Tiba-tiba Nareth berucap lirih.

"Belum tentu." Renka menegak habis kaleng kopi yang ia bawa tadi.

"Bahkan walau lo nggak jadi apa yang mereka mau pun lo pasti bakal dapat jawabannya sendiri."

"Setiap orang itu pendapatnya beda beda Na."

"Dari pada nanya mereka, mending kita cari tahu sendiri. Dengan berjalannya waktu juga bakal banyak peristiwa yang terjadi. Dari sana lo bakal dapet jawaban dari semua yang belum lo tahu. Jadi jangan nyerah dulu kalau mau tahu jawabannya."

Renka berdiri untuk mengambil kantong plastik di meja belajar.

"Gue bawa nasgor sama siomay deket stadion. Daripada ngelamun mending sekarang kita wudhu sholat terus makan." Ucapnya.


~


Gelapnya malam ini menjadi teman tiga manusia yang sedang mengisi tenaga di kamar Nareth. Tadi sehabis sholat Jefran datang dengan wedang jahe yang entah ia dapat dari mana.

"Kenapa ya orang yang jualan nasi tuh jualan hanya demi mendapat sesuap nasi? Kalo gitu nasinya nggak usah dijual." Jefran menyeletuk.

"Jualan kan dapet uang Jeff, kalo lo nanya kenapa nasinya nggak dimakan sendiri aja, jawabannya karena, kalo dia nggak jualan nggak ada penghasilan untuk kedepannya. Kalo berasnya habis? Mau makan pake apa? Terus mau beli beras pakek apa kalo uang aja nggak ada? Semuanya itu bertahap." Nareth menjawab.

"Kayak hidup. Kita terus bernafas padalah saat kita nafas cuma buang sama narik oksigen. Tapi kalo kita nggak nafas, mati."

Jefran hanya mangguk mangguk. Sedangkan Renka ia hanya diam menatap wajah kedua sahabatnya.






~





Rumah.

Rumah adalah dari sekian banyaknya tempat yang menjadi saksi setiap pertumbuhan kecil kita. Saksi rasa sakit yang begitu kentara kala lelah mengguguhi.

Langkah kakinya pelan menaiki satu demi satu anak tangga untuk mencapai ruang makan. Langkahnya yang nampak begitu mantap kini mulai bergetar kala melihat meja makan yang nampak terisi.

"Oh, anak Mama sudah pulang. Sini sayang tadi Mama masak tumis kangkung udang kesukaan mu"
Itu Mama.

Berdiri dari duduknya menghampiri Renka yang diam.

"Renka tadi sudah makan dengan Nareth Jefran ma. Renka mau minum aja terus istirahat."

Dari sorot mata yang tadi nampak bahagia, kini nampak meredup. Kepalanya sedikit tertunduk.

"Owalah, ya sudah kalau begitu." Mama menyodorkan gelas berisi air putih padanya.

"Selamat istirahat ya sayang" Mama mengelus pelan pundak Renka. Sedangkan sang Tuan yang baru saja mendapatkan elusan dipundaknya merasa hatinya teremat habis.





~




Renka hanya bisa terduduk diam memandangi dinding kamarnya. Hanya lampu berwarna biru yang ada dipojok kamar yang menerangi ruangan ini.

"Hai, apa kabar anak Mama?" Tiba-tiba Mama sudah duduk disebelahnya.

Renka menoleh pada sang Mama.

"Renka baik kok Ma.." ucapnya.

Mama menggenggam tangannya. Membawanya pada rasa hangat yang begitu ia rindukan.

"Anak Mama yang paling kecil ini sekarang sedah besar ya? Sepertinya Mama kehilangan banyak sekali waktu dengan kamu?" Mama berkata pelan.

"Mama gagal ya dek? Maaf ya? Mama terlalu sibuk sampai lupa kalau Mama masih punya tanggung jawab dengan kamu. Mama minta maaf ya sudah buat kamu jadi seperti ini. Pasti capek ya ngelewatin semua sendiri?" Mama mengelus punggung tangannya.

"Nggak kok Ma..Menurut Renka, Mama adalah Mama terhebat yang pernah Renka temui. Mama nggak gagal kok, Mama kan juga perlu sembuh. Ma....Renka nggak sendirian kok selama ini. Ada bang Jerry yang selalu ada buat Renka"

Isakan Mama mulai terdengar. Genggamannya pun mulai menguat.

"Anak Mama sudah besar ya? Sudah bukan Renka kecil Mama lagi. Maaf..maaf sayang..kamu pasti kewalahan ya sama semesta? Maaf.." Mama menundukkan kepalanya. Bahunya bergetar begitu hebat.

"Renka belum besar ma..Renka masih anak kecilnya Mama kok."

Malam itu Mama membawanya kedalam dekapan hangat yang begitu ia dambakan sedari dulu. Rindunya kini terbalaskan.

"Bahagia selalu ya? Walau tanpa Mama atau Papa disamping kamu.." kata Mama.

'bagaimana bisa ia bahagia kalau bahagianya saja sedang terluka.' Batinnya.































































Hai hai
Hari ini gimana?
Sudah bisa berdamai belum?
















































To be continued!

Kisah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang