limabelas.

17 3 0
                                    


‘kapan aku bisa?’



























































“PERCUMA TAHU PAPA NGASIH KAMU LES TAMBAHAN KALO HASILNYA MASIH SAMA AJA!” teriakan itu membuat semua orang yang berada disekitar mengelus dada pelan.

“NILAI BERANTAKAN! KAYAK HIDUP KAMU ITU YANG NGGAK PUNYA TUJUAN!” sekali lagi, semua atensi kembali ia dapatkan.

Di ujung lapangan tempatnya, ia hanya bisa menunduk dalam mendengarkan semua dengan lamat. Hari ini adalah pengambilan rapot.
Sebenarnya hasilnya tak begitu buruk, ia bahkan menyabet juara 1 dalam kelasnya, masuk 3 besar dalam satu angkatan dan 10 besar berhasil ia masuki dalam 3 angkatan sekaligus.

Namun nyatanya, bahkan beliau masih kurang puas dengan apa yang sudah ia rangkap dalam ujian pertamanya di sekolah menengah atas itu. Beliau masih menginginkan kesempurnaan yang nyatanya memang tak ada. Menudingnya untuk terus menjadi juara bersanding dengan tingkatan tertinggi.

Setelahnya, beliau pergi meninggalkannya begitu saja. Memasuki mobilnya dengan angkuh, seolah ia lupa apa yang baru saja beliau lakukan.

Nareth melangkah pelan, membawa langkanhnya pada Renka dan Jefran yang sedang memandangnya dengan tatapan sendu.

“gimana bro, dapet nilai 8 berapa?” Jefran menyodorkan segelas capucino dingin yang baru saja ia minum seteguk. Nareth menghela nafasnya pelan.

“nggak ada, cuma kebanyakan 90 pas aja. Makanya tadi Daddy marah” Nareth menyenderkan bahunya pada punggung kursi. Menghela nafasnya pelan, masih terbayang jelas ucapan sang ayah yang menyebutkan hidupnya begitu berantakan.

Apakah begitu kentara seberapa berantakannya ia?

“nggak papa na, besok kita joging deh biar otak lo nggak meledak, relax aja kali” Renka menepuk pelan bahu sahabatnya yang lesu.

Nareth hanya tersenyum menanggapi segala ocehan sahabatnya. Nyawanya melayang entah kemana.
Raganya lemas merasakan pening kepalanya yang memikirkan nilainya yang keluar dari targetnya.




















~




















kakinya terus mengayuh cepat sepada hitamnya dijalan sepi. Dadanya bergemuruh hebat menahan rasa sesak. Ingin rasanya ia berteriak hebat menyerukan suara yang tertahan di tenggorokannya. Berseru keras mengeluarkan suara berisik yang terus bersarang dalam kepalanya.

Nafasnya bahkan sudah tak beraturan akibat terus menerus dipaksa mengayuh lebih cepat. Memandang lurus kedepan tanpa memperhatikan jalan yang sedang ia lalui berlubang yang mengakibatkan ia harus terjatuh mendarat keras pada aspal basah yang mengotori bajunya.

Bahkan meski sudah terbanting ia masih saja larut dalam lamunannya. Memandangi langit sore yang nampak abu abu karena tertutup mega yang ingin mengeluarkan embun dari uapan hasil efaporasinya yang sudah begerumul, sama sepertinya, yang juga ingin menangis meluapkan semua bebanya.

Ia mencoba bangun, mendorong sepeda yang berada di atas tubuhnya. Jalannya sedikit tertatih, melihat celananya yang robek di bagian lutut, memperlihatkan goresan pada kulitnya yang mengeluarkan cairan merah mulai merambas keluar.

Memapah sendiri langkanhnya, menuntun sepedanya yang tak bisa lagi ia gunakan pulang, sebab rodanya yang bengkok.
















“YA TUHAN ANAKKU!!”





































~





































Kakinya tertatih pelan menuruni tangga. Mulutnya sesekali meringis pelan setiap kali kakinya terpijak dari satu anak tangga ke anak tangga lainnya. Dibelakang sana Bara menenteng kresek hitam juga tas abu-abu yang bergelantung apik dibahu kokohnya.

Kakinya masih sedikit perih meski semalam sudah diobati dan dibalut kasa. Semalam juga saat ia tertidur, si sulung Bara masuk kekamarnya hanya untuk sekedar memijat kakinya.

“keruang makan dulu na, nanti gue nyusul” Seru Bara dari belakang. Si Tuan sedang mengunci pintu kamarnya.

Nareth hanya mengangguk meneruskan langkahnya.

Setelah selesai ia menuruni tangga, matanya lurus menatap meja makan yang sepi. Hanya ada beberapa lauk dipiring. Sedikit sisa roti dan selai yang mungkin sisa sang ibu.

Menarik satu kursi disana untuk ia duduki. Mengambil satu piring kaca untuk alas sarapannya hari ini. Mengambil beberapa lauk untuknya dan mulai melahap sedikit demi sedikit.

Namun entah pikiran dari mana, tiba-tiba ia tertunduk saat mengingat kejadian kemarin sore saat ia pulang.

Saat baju putih abunya kotor oleh air becek di jalan. Saat kakinya yang mengeluarkan darah berjalan terseok.

Dan saat sang ibu berlari panik kearahnya. Memanggilnya dengan teriakan yang bahkan tak pernah ia sangka akan ia dapatkan.

‘anakku’ adalah kata kata yang membuat air matanya kembali menetes. Dadanya tiba-tiba saat ingatan itu kembali terlintas. Senyum harus disela air matanya tak dapat terhindar.

Tak apa jika memang dia harus terluka dan berdarah darah jika itu bisa membuat sang ibu memanggilnya anak.

Semoga saja, ingatan itu abadi dalam dirinya. Sebagai bahagianya sendiri tanpa harus ia bagi.

Iya abadi.
Seperti lukanya.

























































Hai!
Apa kabar?
Gimana minggu ini?

Maaf lama nggak nulis. Untuk kembali menulis ini aku membutuhkan beberapa bukan karena pikiranku lagi berantakan. Maaf kalo ada beberapa kata yang salah.
Semoga kalian suka!!






To be continued!

Kisah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang