tigabelas.

60 3 0
                                    


‘bahkan hujan pun harus mengeluarkan tangisnya yang deras untuk melahirkan pelangi.’



































































Malam ini bulan benar benar tak menampakkan cahayanya. Mendung pekat terus saja bergerumul diatas sana menambah suasana suram. Dingin yang mungkin menembus hingga tulang. Suara guntur masih saja terdengar membuat rasa nyaman dan gelisah yang Yeira rasakan bercampur aduk.

Kadang ingin sekali ia berteriak, menangis meraung raung atas perihnya luka yang selalu hinggap dibenaknya. Meminta kepada Tuhan agar semuanya lenyap dalam sekejap mata. Sadarnya pada malam yang selalu menciptakan dialog tak berguna yang hanya akan membuatnya tak puas akan dunia. Merasa menjadi manusia paling menyedihkan di seisi alam.

Bolehkah jika ia berbicara pada semesta tentang lelahnya?

Bau harum manis bercampur dengan hangatnya mug keramik yang Bara genggam dikedua tangannya. Membuat udara diteras belakang dalam sekejap berubah bau.

“ada apa?” Bara menoleh menyodorkan coklat panas pada Yeira.

Sang puan yang ditanya hanya menggeleng pelan kala ia merasa pening saat menoleh guna melihat Bara, juga mengambil alih mug yang disodorkan padanya. Meletakannya di kursi samping.

“ada apa rara?” ah panggilan itu.

Yeira rasanya ingin menangis keras saat Bara memanggilnya dengan sebutan itu. Panggilan kecil yang sampai sekarang akan Bara gunakan saat ia sedang marah pada kakak kesayangannya itu.

“aku mau marah sama dunia” katanya merajuk, tangannya ia sedekapkan didada seoalah sedang marah.

“marah kenapa?” Bara mengangkat satu alisnya.

“marah aja, pokoknya maraahh banget! Huh” ia mendengus kesal.

“marah atau nangis?” Bara bertanya lagi.

“marah. Aku kan tadi bilang mau marah” ya, suaranya sudah mulai bergetar.

“beneran? Yakin mau marah?” Bara lagi lagi masih kukuh untuk membuat Yeira jatuh dan meninggalkan lukanya diatas.

“ben- huh enggak..” suara isakan mulai terdengar kembali. Tangannya yang bersedekap itu kini sudah ia gunakan untuk menutup wajahnya. Menyembunyikan air matanya agar tak jatuh. Bahunya bergetar hebat.

Disampingnya Bara hanya menghela nafas dalam. Membiarkan Yeira mencoba menetralkan dirinya sendiri. Membiarkan kembarannya untuk menangis malam ini dengan luka luka yang baru baru ini tergores.

Setelah merasa Yeira mulai lega atas apa yang baru saja ia lakukan, Bara menghadapkan dirinya pada Yeira. Menatap tubuh yang masih setia menunduk.

“kenapa?” tanyanya pelan takut takut jika Yeira menangis kembali.

“aku nggak mau dewasa, capek.” katanya.

“kenapa?”

“aku takut nggak kuat, aku takut kedepannya aku nggak bisa kontrol diriku sendiri. Aku takut”

“takut?”

“aku takut atas pertanyaan pertanyaan yang akan aku terima kedepannya.”

“aku takut akan masalah yang akan datang dan semakin berat. Aku takut jika nanti dunia akan semakin memojokan aku, si manusia lemah ini.” ya, ia takut akan semua. Dalam bayang bayang dewasa yang begitu mengerikan.

Kisah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang