enambelas.

23 1 0
                                    



rapi tak berantakan
















































Rambutnya yang sedikit panjang bergoyang pelan, menari indah diterpa angin. Pandangannya lurus menatap hamparan indah yang ada di depan matanya. Nafasnya terus beradu, sedikit tersenggal mencoba melepaskan beban berat dihidupnya.

Suara tawa banyak orang terdengar apik bergabung dengan ombak pantai yang selalu datang.
Membiarkan kakinya tersapu lembut oleh busa yang diciptakan.

Kakinya yang tak beralas ia bawa melangkah pelan menyusuri bibir pantai. Mencoba menikmati suasana aman yang sudah ia idam-idamkan sedari lama. Beberapa langkah ia bawa maju sedikit menuju dalamnya air.
Melihat takjub pada gelombang air yang terus bertubrukan. Tanpa ia peduli, bahwa gelombang indah itu bisa menggulungnya kapan saja.

Setiap bait kata semangat ia batin terus menerus. Mencoba menyadarkan diri untuk tetap berdiam diri dan tidak melangkah lebih jauh. Takut takut ia bisa pergi hari ini.

Sinar matahari yang terpancar membias indah, memaparkan wajah elok tanpa cacat itu.

Renka menghela nafasnya pelan. Perlahan ia mulai merasa sesak, ada sesuatu yang ingin ia keluarkan saat itu. Tapi ia sendiri tak tahu bagaimana caranya. Ia tak tahu apa yang sebenarnya ingin ia keluarkan. Yang ia bisa hanyalah menunduk, memandangi kakinya sendiri.

Namun setelahnya ia malah melihat semangka yang sudah terpotong rapi disodorkan padanya. Wajahnya terangkat, melihat siapa tuan yang berdiri di sampingnya ini.

Senyum itu tak luntur begitu saja. Wajah ayu yang sempurna itu terhidang indah di depan matanya.

Ah, mama ternyata.

Wanita paru baya itu kini berada di depanya dengan nyata. Hari ini memang agenda keluarga kecilnya untuk berlibur kecil.
Setelah bertahun tahun mereka sibuk dengan masalah sendiri sendiri, kini mereka mulai mampu berdamai dengan semua. Mereka sudah mulai mau bangkit dan meninggalkan luka yang menghambat bahagia.

Meski bahagia kali ini sedikit terasa canggung dan tidak lengkap. Masing-masing dari mereka merasa bersyukur sudah mau berjalan kembali bersama-sama.

“Renka apa kabar?” suara itu beralun indah setelah tangannya mengambil alih semangka yang sedari tadi menggantung di tangan lentik mama.

“Renka baik ma...” jawabnya. Singakat saja. Jika panjang ia takut tak mampu meneruskan kalimatanya dan berakhir menangis.

“mama sama papa minta maaf ya..maaf kalau Renka kehilangan kita terlalu lama. Mama minta maaf kalau Renka berjalan sendiri terlalu jauh. Mama minta maaf ya sayang..” kata mama dengan tangan yang mulai meraih tangan Renka untuk ia genggam erat. Mengelus pelan punggung tangan sang bungsu yang sudah ia biarkan begitu lama.

“mama sama papa nggak perlu minta maaf. Renka disini baik. Semuanya kehilangan setelah hari itu ma..Renka faham untuk tidak meminta mama dan papa lupa dengan cepat. Renka menghargai semua proses kita.” katanya menunduk tersenyum. Sedikit lega untuk rasa sesak yang sedikit mereda.

“kalau Renka sakit dengan ini semua, bilang ya? Biar kita perbaiki sekarang. Agar semuanya rapi kembali” Mama mencoba merangkul putranya.

Memang bisa ya?
Kalau sesuatu yang sudah lama berantakan ditata ulang kembali?

Mama beralih memeluknya dengan erat. Tak lama ia merasa dipunggungnya ada seseorang juga tengah mendekapnya. Saat melirik ternyata bang Jerry yang diikuti oleh papa setelahnya.

Hatinya menghangat.

Masih bisa ternyata. Meski tatanannya tak sama persis seperti dulu namun setidaknya ini masih sangat layak dan nyaman untuk dihuni kembali.

Renka hanya bisa diam di antara hangatnya apitan orang orang yang berharga. Merasa sedikit lapang saat semua sudah mulai berjalan dengan tenang kembali. Saat semua sudah mau saling memberi ampun pada diri sendiri dan berhenti menghakimi perseorang.





“papa dan mama juga minta maaf sama Jerry..maaf harus tumbuh dewasa sedini mungkin untuk melengkapi kasih sayang yang seharusnya kami berikan pada kalian..” itu papa. Beliau mencoba tersenyum menghalau air mata yang hampir longsor dari pelupuk matanya.

Renka hanya mampu menahan kembali rasa aneh yang bergerumul meremat hatinya begitu kencang.
Cukup naif baginya untuk tak menangis hari ini. Tak ada yang begitu berharga pada dirinya selain nafasnya yang membuat awak itu masih mampu menapakkan kakinya di tanah. Masih mampu mengikuti langkah hari ini. Melihat semuanya kembali rapi.

Tak apa. Semoga ia tak lekas pergi sebelum semuanya benar benar usai.
Dan semoga, damai ini kekal selamanya.



















































Hai!
Apa kabar?
Sudah rapi belum semuanya?




















To be continued.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang