duabelas.

78 8 3
                                    

kapan aku mampu membalut lukaku?’






































Sore ini dengan ditemanin jingga semu yang diciptakan langit, Nareth berjalan ditengah ramainya manusia yang sibuk. Banyak dari mereka yang tertawa riang dengan candaan ringan, juga saling melempar kata untuk sekedar terkekeh. Ada pula yang tengah berbicara dengan kursi taman menjadi sandaran. Saling bersua foto untuk mengabadikan suasana yang mungkin kedepannya tak akan sama meski dengan orang yang ada saat ini. Ada pula yang beradu kasih ditengah mereka yang merayakan bahagia. Tak jarang juga dibeberapa tepi mereka saling berpelukan untuk sekedar mendapatkan kehangatan bersama dari cahaya sang surya. Para penjual yang sibuk melayani orang orang yang meraung cepat untuk dilayani. Para muda mudi yang berjalan dengan suka ria.
Dunia tak akan pernah main main dengan pembuktiannya tentang bahagia, menuntun setiap manusia yang ada untuk mendapatkan keadilan mereka. Namun nyatanya Nareth belum bisa mengimbangi permainan dunia. Ia masih terus saja terjebak dalam falsafa kegelapan yang setia ia gunakan untuk menepis kala dunia ingin mendekat.

Langkahnya yang tak imbang ia paksa untuk tetap kokoh demi menemukan Jefran yang terduduk melamun ditepi jalan. Menepuk bahu itu pelan untuk membuat tuan yang ada dihadapnnya menoleh. 

“oi Na, Renka kemana?”

Nareth duduk disebelah Jefran setelah itu menggeleng pelan.

Setelahnya hanya riuh suara tanpa ada satupun suara mereka.

Seorang Remaja tiba tiba saja duduk diantara mereka, dengan wajah penuh kepolosan itu ia menyodorkan kantong berisi tiga cup minuman dengan toping coklat diatasnya.

“sorry telat, tadi haus mau beli minum antrinya panjang.” Renka berucap. Menyandarkan bahunya pada tiang yang ada dibelakangnya. Mengistirahatkan bahu yang sedari tadi menyanggah bebannya.

Lamunannya jatuh pada jalan seberang. Meski jalannya tak lagi sama, namun rasanya bayang bayang juga suara jeritan perempuan yang dulu pernah menjabat sebagai kakaknya terus saja terdengar jelas. Bagaimana ia hanya terdiam, bagaimana ia menyaksikan tangis kacau Mama saat memeluk tubuh tak bernyawa milik kakaknya. Juga Jerry yang menggendongnya untuk menjauh.

Rasanya masih sama meski mulai terlihat semu. Renka masih saja terjebak dalam masa kecilnya.
Dimana ia yang belum paham tentang dunia dan suasananya.

Rematan tangannya menguat didalam saku jaket yang ia kenakan. Matanya mulai menitik embun yang kapan saja bisa terjatuh.

“Ren, Hoy ngelamun aja” Jefran menyenggolnya. Membuat ia sadar kala dirinya mulai ditarik mundur oleh ingatannya sendiri.

“ayo pindah dari sini, kita ke galuhpati aja. Rame” Renka menolehkan kepalanya kekanan juga kiri. Jefran hanya mengedikkan bahunya mengangguk ragu.

“Ayo.” Renka mendahului mereka, berjalan pelan berusaha meninggalkan pikiran kelamnya pada tempat ini.

“Kenapa mau pindah Ren? Bukannya kemaren emang mau nyari telur gulung disini?” Nareth melontarkan pertanyaan yang membuat Renka menoleh, menggeleng pelan yang setelahnya mendapat rangkulan Jefran.
























~





















Yeira mencoba menetralkan nafasnya saat Bara memeluknya hangat. Bahu bergetar Yeira masih dapat Bara rasakan. Ia hanya bisa mengelus pelan pundak itu, mencoba menenangkan perempuan dalam pelukannya.

Kisah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang